Jakarta, FORTUNE - Dusun Tenon yang terletak di kaki Gunung Telomoyo, Kecamatan Getasan, Semarang, Jawa Tengah, dahulunya merupakan salah satu desa tertinggal. Namun, desa ini mampu bertransformasi secara perlahan melalui pemberdayaan sosial yang mengakar pada kearifan lokal, dengan pendekatan desa wisata.
Ketertinggalan Dusun Tanon, sebelumnya terlihat jelas dari kualitas pendidikan, perekonomian, fasilitas umum, dan kesehatan yang masih jauh dari standar. Keprihatinan ini memicu Trisno, tokoh penggerak desa untuk mencari cara mengubah kondisi desa menjadi lebih berdaya. Berbekal ilmu psikologi yang ia peroleh di bangku kuliah, ia kembali ke kampung halaman.
Pada 2009, Trisno membuat gagasan yang diberi nama “laboratorium sosial”. Laboratorium ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, tetapi juga berfokus pada tiga ranah konservasi atau pelestarian meliputi konservasi profesi masyarakat, dolanan tradisional, dan kesenian lokal.
“Konservasi profesi masyarakat mendapat tempat pertama, karena sebagian besar masyarakat Dusun Tanon yang berprofesi sebagai petani dan peternak di satu sisi tidak menguntungkan secara ekonomi, di sisi lain ada kekhawatiran profesi tersebut tidak ada yang ingin melanjutkan,” kata Trisno kepada Fortune Indonesia, dalam sambungan telepon Sabtu (9/11).
Di tahun yang sama, ia merumuskan konsep ‘Outbound Ndeso’ atau kegiatan outbound di tengah suasana desa. Dengan memadukan aktivitas khas pedesaan, pengunjung diajak belajar tentang profesi masyarakat, mulai dari bertani hingga memainkan ‘dolanan’ atau permainan tradisional.
Outbound Ndeso menjadi media untuk menunjukkan potensi mereka kepada dunia luar. Ia pun kerap mengundang komunitas pendidikan, komunitas mahasiswa, dan sekolah untuk belajar dan melakukan kegiatan di desanya.
Saat itu, Tanon belum dikenal sebagai desa wisata. Namun, titik balik terjadi pada 2012, ketika ia diundang menghadiri Focus Group Discussion (FGD) oleh Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Semarang— untuk berbagi cerita tentang kegiatan mereka di Dusun Tanon.
Di forum itu, gagasan desa wisata mulai terungkap. Kegiatan Tanon yang menarik banyak komunitas pendidikan, dikategorikan sebagai potensi desa wisata. Di saat yang sama, pemerintah daerah memang sedang gencar-gencarnya merintis desa wisata.
Gagasan desa wisata kemudian ia sampaikan kepada warga. Tak sedikit yang meragukan, namun ia meyakinkan mereka bahwa potensi lokal—dari profesi bertani hingga seni tradisional—dapat menjadi daya tarik wisata yang unik.
Pada Maret 2012, dengan gotong royong, Dusun Tanon resmi membuka diri untuk kunjungan wisata dengan pendekatan baru. Nama Desa Menari lahir sebagai identitas baru yang memiliki makna lebih dari sekadar desa.
"Menari" merupakan akronim yang bermakna : "Menebar Harmoni, Merajut Inspirasi, Menuai Memori” diharapkan mampu menciptakan harmoni, inspirasi, dan kenangan dalam dalam setiap aktivitas desa yang ditawarkan.