NEWS

Menilik Potensi Hidrogen Sebagai Masa Depan Energi bagi Industri

Keterbatasan energi fosil mendorong alternatif energi baru.

Menilik Potensi Hidrogen Sebagai Masa Depan Energi bagi IndustriIlustrasi produksi energi terbarukan hidrogen. Gas hidrogen untuk pembangkit listrik tenaga surya dan turbin angin yang bersih. Shutterstock/Audio und werbung
31 March 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Direktur Jenderal ILMATE, Taufiek Bawazier, mengatakan hidrogen berpotensi menjadi masa depan energi bagi industri. Hal itu disampaikan dalam seminar “Hidrogen untuk Industri: Tantangan dan Peluang dalam Mendukung Kemandirian Industri” di Jakarta, Rabu (30/3).

Pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim (COP26), Presiden Joko Widodo berkomitmen dalam penanganan perubahan iklim dengan target penurunan emisi (Net Zero Emissions) di Indonesia, di antaranya dengan mendukung pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) dan pengembangan industri berbasis clean energy.

“Hal ini karena ada potensi kekurangan pasokan energi di masa depan sehingga akan memengaruhi ketersediaan energi sebagai bahan baku atau bahan penolong di sektor Industri,” kata Taufiek.

Apalagi, ketersediaan energi domestik pada 2030 diperkirakan hanya mampu memenuhi 75 persen permintaan energi nasional, dan akan terus menurun hingga sekitar 28 persen pada 2045.

Bahkan, dengan energi fosil yang terbatas di masa depan, diperlukan upaya memenuhi sumber energi baru yang memadai dan andal yang akan memberikan multiplier effect yang luar biasa dalam mendukung daya saing industri, menarik minat investasi, dan tumbuhnya industri dalam negeri.

“Salah satu EBT yang akan berkembang pesat adalah hidrogen,” ujarnya.

Menurut Taufiek, Hidrogen adalah masa depan energi bagi industri dan akan menjadi game changer dari energi dunia yang akan menggantikan energi fosil dan batu bara. Pasalnya, hidrogen merupakan pembawa energi (energy carrier/energy factor transition) yang dapat digunakan untuk menyimpan, memindahkan, dan menyalurkan energi yang dihasilkan dari sumber lain.

“Selain itu, pertimbangan pengembangan hidrogen adalah rendahnya biaya produksi di masa depan,” jelasnya. Sebagai perbandingan, biaya produksi green hydrogen mencapai US$2,5-4,5 per kg pada tahun 2019, dan diproyeksi menjadi US$1-2,5 per kg pada tahun 2030.

“Ini akan turun hingga tiga kali lipat pada tahun 2050,” imbuhnya. 

3 Tantangan besar

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Taufiek Bawazier/Dok. Kemenperin

Dia mengatakan Kementerian Perindustrian siap menginisiasi pemanfaatan hidrogen sebagai sumber energi yang dapat dimanfaatkan pada sektor industri pembangkit listrik, industri logam, industri makanan, dan bahkan industri semikonduktor ke depan.

“Selain itu, hidrogen dapat dimanfaatkan dalam sel baterai untuk aplikasi kendaraan bermotor, truk, kapal, kereta api bahkan pesawat udara. Peluang ini harus kita sikapi dengan menyiapkan kemampuan baik dari sisi teknologi maupun dari sumber daya manusia. Artinya, pemanfaatan hidrogen akan meningkatkan daya saing bagi nilai tambah industri,” ujarnya.

Saat ini setidaknya terdapat tiga tantangan besar dalam transisi energi yang perlu mendapatkan perhatian semua pihak.

Pertama, terkait dengan akses energi bersih, dunia sedang menghadapi kenyataan bahwa tidak semua warga dunia memiliki akses pada energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern.

Tantangan kedua, terkait dengan masalah pendanaan, proses transisi energi membutuhkan dana yang sangat besar. Tantangan ketiga adalah dukungan riset dan teknologi untuk menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan lebih kompetitif.

“Kami telah mengeluarkan peta jalan Industri Otomotif Nasional yang menetapkan 20 persen penggunaan kendaraan berbasis baterai listrik di tahun 2025 yang diikuti dengan upaya efisiensi pada industri otomotif untuk jenis teknologi Internal Combustion Engine (ICE), Hybrid, dan Plug-in Hybrid,” katanya.

Related Topics