Dibayangi Resesi, Harga Minyak Jatuh ke Bawah US$85 per Barel

Jakarta, FORTUNE - Harga minyak tergelincir sekitar U$2 per barel dan bertengger di posisi terendah dalam sembilan bulan terakhir pada akhir perdagangan Senin sore (26/9) waktu setempat.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November merosot US$2,09 per barel atau 2,4 persen, menjadi menetap US$84,06 per barel di London ICE Futures Exchange—turun ke bawah level terendahnya di 14 Januari lalu.
Sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November terpangkas US$2,03 AS per barel atau 2,6 persen menjadi US$76,71 per barel di New York Mercantile Exchange, dan merupakan level terendah sejak 6 Januari 2022.
Pergerakan minyak kemarin dipengaruhi momentum penguatan dolar AS yang masih berlanjut setelah Federal Reserve memberlakukan kenaikan suku bunga tiga perempat poin untuk ketiga kalinya secara berturut-turut pekan lalu.
Pada akhir perdagangan Senin (26/9), Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, melonjak 0,81 persen menjadi 114,1030.
Indeks dolar yang mencapai level tertinggi baru selama dua dekade itu menekan permintaan minyak yang dihargai dalam mata uang AS. Data Refinitiv Eikon menunjukkan, dampak penguatan dolar terhadap harga minyak ini merupakan yang paling menonjol dalam setahun terakhir.
Secara historis, gerak harga minyak memang selalu berkebalikan dengan dolar AS. "Sulit bagi siapa pun untuk mengharapkan minyak akan pulih setelah greenback semahal ini," kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho seperti dikutip Reuters.