Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang menerapkan kebijakan antidumping untuk melindungi produk-produk dalam negeri dari serbuan barang impor. Salah satunya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Beleid ini juga bertujuan melindungi stabilitas harga produk dan menumbuhkan iklim usaha sehat bagi produsen dalam negeri.
Hingga saat ini, UU tersebut juga jadi acuan pemerintah ketika membuat aturan turunan kebijakan anti-dumping. Sebab, beberapa negara seperti China, Jepang, dan Singapura masih melakukan politik dumping untuk mengurangi stok produk mereka dan mendatangkan keuntungan.
Sebagai contoh, pada pertengahan 2019 lalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan bea masuk antidumping (BMAD) terhadap produk baja yang diimpor dari China, yakni hot rolled plate (HRP). BMAD merupakan tambahan bea masuk umum (most favoured nation) atau tambahan bea masuk preferensi berdasarkan skema perdagangan barang internasional.
Tak hanya HRP dari China, kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 111/PMK.010/2019 itu juga dikenakan untuk produk serupa dari Singapura dan Ukraina. Meski demikian, tarif BMAD yang dikenakan kepada ketiga negara tersebut bervariasi. Untuk China, tarif BMAD dikenakan sebesar 10,47 persen. Sementara untuk produk asal Singapura dan Ukraina dikenakan masing-masing 12,5 persen dan 12,33 persen
Dalam pertimbangan PMK itu, disebutkan bahwa pengenaan BMAD didasarkan pada hasil penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). KADI masih menemukan adanya marjin dumping yang dilakukan oleh perusahaan eksportir/eksportir produsen dari Negara India, China, dan Taiwan sehingga dapat disimpulkan praktik dumping masih berlanjut.
"Jika BMAD dihentikan, maka kerugian pemohon akan berulang kembali," terang pertimbangan beleid tersebut.