Jakarta, FORTUNE - Lebih dari satu abad setelah didirikan oleh John D. Rockefeller pada 1913, The Rockefeller Foundation memadukan sains, kebijakan, dan kemanusiaan. Dengan dana abadi senilai US$6,5 miliar, yayasan ini menyalurkan hasil investasinya untuk hibah dan investasi sosial di berbagai belahan dunia. Dan kini, Asia menjadi panggung penting bagi arah baru filantropi global.
“Yayasan ini didirikan pada tahun 1913 oleh John D. Rockefeller. Ia memberikan dana abadi, dan hingga saat ini nilainya sekitar US$6,5 miliar,” ujar Elizabeth Yee, Executive Vice President of Programs The Rockefeller Foundation. Kami menggunakan hasil investasi dari dana abadi tersebut setiap tahun untuk memberikan hibah dan melakukan investasi sosial di seluruh dunia," ujar Yee, kepada Fortune Indonesia, usai gelaran konferensi AsiaXchange 2025 di Jakarta, Rabu (7/10).
Menurut Yee, fokus utama yayasan terbagi dalam tiga bidang: akses dan transisi energi, transformasi sistem pangan, serta iklim dan kesehatan. Ia menambahkan, “Kami juga melihat bagaimana pembiayaan dan data bisa menjadi pengungkit perubahan.”
Salah satu inisiatif terbesar yang pernah dijalankan adalah Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP), hasil hibah sebesar US$500 juta yang diberikan Rockefeller Foundation untuk memperluas akses energi bersih. “Inisiatif ini ditujukan untuk mendukung akses energi bagi 800 juta orang yang belum memiliki listrik atau hanya memiliki akses yang tidak andal,” kata Yee. “Hingga kini, kami telah menggerakkan sekitar US$7–8 miliar tambahan dalam bentuk pendanaan dan sumber daya yang dialokasikan untuk 130–140 proyek di seluruh dunia.”
GEAPP kini beroperasi di Afrika, Amerika Latin, Karibia, dan Asia. Di Indonesia, program ini meliputi proyek pembangkit listrik tenaga surya terapung di Batam, serta penyimpanan energi baterai di Tanah Laut. “Proyek ini juga akan membantu nelayan memiliki fasilitas cold storage agar hasil tangkapannya lebih tahan lama dan ketahanan pangan meningkat,” ujar Yee.
Menurut Deepali Khanna, Senior Vice President & Head of Asia The Rockefeller Foundation, Asia kini memainkan peran strategis dalam portofolio yayasan. “Secara global, kami menentukan alokasi berdasarkan kebutuhan dan dampak di tiap wilayah, bukan sekadar membagi anggaran per kawasan,” ujarnya. Ia mencontohkan, program Regenerative School Meals menjadi bagian penting dari kerja yayasan di Asia, selain GEAPP dan program mitigasi panas ekstrem di Ho Chi Minh City, Vietnam, yang dijalankan bersama lembaga meteorologi setempat.
Khanna mengakui bahwa bekerja di Asia berarti menghadapi tantangan sekaligus peluang besar. “Saya justru melihat ini sebagai peluang besar. Saat ini, saya sangat bersemangat berada di Asia karena ada optimisme tinggi. Menurutnya, kolaborasi menjadi fondasi penting dalam mengubah arah filantropi di kawasan.
“Yang perlu ditingkatkan adalah kolaborasi. Sekarang ada rasa saling percaya yang tumbuh karena kita menyadari bahwa kita sendiri yang harus menjaga kawasan ini. Dulu, kita sering bergantung pada negara-negara di Global North. Tapi kini kita sadar, kerja sama antarnegara di kawasan (intra-regional) dan antar-kawasan (inter-regional) adalah kunci. Kesempatannya besar, asal kita mau bekerja bersama," kata Khanna.
AsiaXchange 2025 menjadi wujud nyata semangat itu. Salah satu hasil konkretnya adalah nota kesepahaman dengan UN ESCAP untuk memperkuat kapasitas regulator energi di Asia Selatan dan Tenggara. “Ini adalah inovasi yang lahir di Asia, dibangun untuk Asia, dan siap untuk diperluas,” ujarnya. AsiaXchange juga melahirkan generasi baru pemimpin. Melalui Big Bets Fellowship, Rockefeller Foundation mendukung 12 pemimpin muda dari 26 negara yang merancang solusi untuk memperkuat ketahanan iklim, pangan, dan sistem sosial.
Yee membawa refleksi lebih luas bahwa Asia kini menjadi pusat solusi global. Namun, ada tantangan tersendiri yang membutuhkan dana tidak sedikit.“Asia berada di garis depan perubahan iklim. Kawasan ini memanas hampir dua kali lipat rata-rata global, dan di sinilah banjir serta badai menimbulkan dampak paling parah,” kata Yee.
Menurutnya, Asia membutuhkan pendanaan adaptasi antara US$102 miliar hingga US$431 miliar setiap tahun untuk melindungi warganya dari risiko iklim. Namun, di tengah tantangan besar itu, ia melihat potensi luar biasa. “Sejarah menunjukkan bahwa Asia memiliki kapasitas luar biasa untuk beradaptasi dan memimpin,” ujarnya.
Yee mengingatkan bahwa Rockefeller Foundation telah hadir di Asia selama lebih dari satu abad, sejak membantu mendirikan Peking Union Medical College di Tiongkok pada 1917, hingga mendukung kampanye sanitasi di Jawa pada 1920-an dan riset pertanian di Indonesia pada 1960-an. “Dulu Asia menerima dukungan pembangunan. Sekarang, kawasan ini justru menjadi penggerak solusi,” tegasnya.
Perubahan itu, kata Yee, terlihat dalam tiga tren besar. “Pertama, filantropi di Asia bergerak melampaui amal menuju perubahan sistemik. Kedua, separuh filantropi terbesar di Asia lahir dalam dua dekade terakhir. Ketiga, dengan kebijakan kuat, ekspansi modal ventura, dan talenta global, Asia kini memimpin inovasi iklim dan pembangunan berkelanjutan berskala besar.”
Ia mencontohkan ambisi Indonesia untuk mencapai 70 persen energi terbarukan pada 2045. Melalui inisiatif GEAPP, Rockefeller Foundation memobilisasi modal publik, swasta, dan filantropi untuk mendukung proyek-proyek seperti pembangkit listrik tenaga surya terapung di Batam dan penyimpanan energi baterai di Tanah Laut. “Proyek ini bukan sekadar percontohan, tapi cetak biru untuk ditiru di seluruh Indonesia dan dunia,” ujar Yee.
Dalam paparannya terkait “Finance: Unlocking the Transition”, Yee menyoroti pentingnya pendanaan transisi energi. “Keuangan adalah penghubung yang menentukan keberhasilan. Dan kini Asia menunjukkan kepemimpinan global dalam membangun mesin transisi energi bersih,” katanya. Ia menyebut inisiatif Coal to Clean Credits, yang menargetkan penggantian 100 pembangkit batu bara menjadi energi terbarukan pada 2030.
“Ketika saya mengunjungi salah satu pabrik di Luzon Selatan, yang paling berkesan bukan mesin-mesinnya, melainkan para pekerja,” tutur Yee. “Mereka antusias dengan udara yang lebih bersih dan program pelatihan ulang yang memberi keyakinan akan masa depan mereka.”
Asia juga menjadi pionir dalam memanfaatkan teknologi untuk ketahanan iklim. Yee mencontohkan aplikasi Farmer Chat hasil kolaborasi Digital Green dan OpenAI, yang membantu petani di India memperoleh solusi organik berbasis AI untuk menghadapi hama. “Teknologi ini bukan teori. Ini inovasi yang terjangkau, berpusat pada manusia, dan bisa diperluas,” katanya.
Yee jugamenyerukan kolaborasi lintas batas yang lebih berani. Namun, di tengah ketidakpastian global, dari tensi geopolitik hingga isu politik lintas negara, ia mengaku tetap optimistis. “Tentu, kami memikirkannya setiap hari. Tapi kami juga melihat harapan,” katanya.
Ia menambahkan, inisiatif terbaru yayasan, Build the Shared Future, memberikan gambaran tentang arah optimisme tersebut. “Kami baru-baru ini meluncurkan inisiatif Build the Shared Future, yang melibatkan survei di 34 negara dengan 36.000 responden. Hasilnya, 55 persen responden masih percaya pada kerja sama global, dan angka tertinggi berasal dari Asia (sekitar 75–77 persen). Ini menunjukkan bahwa masyarakat Asia sangat mendukung kolaborasi lintas negara.”
Rockefeller Foundation saat ini beroperasi di berbagai negara di Afrika Timur, Afrika Barat, Amerika Latin, Karibia, dan Asia, termasuk Thailand, Indonesia, Vietnam, dan Filipina. “Mungkin tidak sampai 100 negara secara langsung, tapi kami juga menyalurkan dana ke lembaga seperti WHO yang bekerja di seluruh dunia. Kami memprioritaskan negara berpendapatan rendah dan menengah, sejalan dengan misi utama kami: meningkatkan kesejahteraan umat manusia, termasuk di AS," ujar Yee.