Jakarta, FORTUNE - Staf Khusus Menteri BUMN, Agus Tjahjana, mengatakan Indonesia berpotensi menempati urutan ketiga produsen baterai kendaraan listrik (EV) global setelah Cina (79 persen) dan Amerika Serikat (6,2 persen). Dengan seluruh sumber daya yang dimiliki, Indonesia dapat menyalip Hungaria yang berada di posisi tersebut dengan persentase produksi 4 persen dari total baterai EV dunia.
Hitung-hitungan tersebut didasarkan pada bahan baku yang ada di Indonesia dan dapat diolah oleh industri di dalam negeri serta kebutuhan baterai dunia yang diperkirakan mencapai 5.300 Gigawatt hour (GWh) pada 2035.
Sebagai gambaran, ia menyebut bahwa 1 ton bijih nikel berkadar rendah atau limonit dapat menghasilkan 1,1 Megawatt hour (MWh) baterai. Sementara saat ini ada lima perusahaan yang siap mengolah 2.400 ton nikel per tahun untuk bahan baku baterai.
Dengan menghitung bahwa 1 ton nikel sama 0,8 ton limonit, maka kapasitas baterai yang dapat dihasilkan dari bahan baku tersebut mencapai 330 GWh per tahunnya. Angka itu setara 6 persen dari total kebutuhan baterai global yang mencapai 5.300 GWh pada 2035.
"Kalau kita lihat kurang lebih 6 persen (kebutuhan baterai EV global). Kalau ditambah produksi IBC, kira-kira bisa sampai 10 persen," ujarnya dalam Investor Daily Summit 2022, Selasa (11/10).
Meski demikian, tegas Agus, estimasi tersebut baru didasarkan pada proyeksi industri hulu baterai EV. Sebab, lima perusahaan yang memproduksi bahan baku tersebut--antara lain Halmahera Persada Lygend, QMB New Energy Material, Huayou, PT Vale Indonesia Tbk, dan PT Ceria--belum masuk ke industri hilir hingga menghasilkan sel baterai.
Kondisi tersebut wajar sebab status elektrifikasi kendaraan di Indonesia termasuk industri baterai saat ini masih dalam tahap awal pengembangan. Karena itu, menurutnya, perlu percepatan untuk mengejar tahap industrialisasi di Eropa, Cina atau Amerika.