Jakarta, FORTUNE - Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, mengatakan penurunan harga nikel yang terjadi saat ini tidak hanya disebabkan oleh masalah pasokan dan permintaan.
Kelebihan pasokan, menurutnya, juga bukan perkara utama lantaran harga komoditas mineral dan batu bara dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti geopolitik.
"Suplai dan demand saja tidak cukup [karena] ada isu-isu lain. Misalnya harga batu bara yang saat itu mencapai 400, siapa yang menyangka akan sampai harga seperti itu. Jadi kadang-kadang saat turun tidak ada korelasi pada supply dan demand seperti yang kita rasakan," ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (16/1).
Data pada laman resmi Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM menunjukkan harga acuan nikel masih dalam tren penurunan, dari US$28.444 per ton pada Februari 2023 menjadi US$16.368 per ton pada Januari 2024.
Surplus pasokan ditengarai menjadi penyebab utama tren kemerosotan harga tersebut. Kelebihan suplai ini tidak hanya berasal dari peningkatan pasokan nikel kelas 2 (dengan konten di bawah 99,8 persen) yang diproduksi di Indonesia—seperti nickel pig iron (NPI) dan feronikel—tetapi juga nikel kelas 1 (dengan konten 99,8 persen)—untuk membuat nikel sulfat dan nikel katoda—yang produksinya mulai pulih di Cina.
Kategori pertama, yang mencakup nickel pig iron dan feronikel, digunakan dalam produk seperti baja, sementara yang terakhir diperlukan untuk membuat nikel sulfat dan katoda nikel untuk kendaraan listrik (EV).
Di sisi lain, kedua produk nikel juga menghadapi penurunan permintaan. Ini disebabkan antara lain oleh pemulihan industri konstruksi Cina, konsumen penting nikel untuk baja tahan karat, yang berjalan lebih lambat dari perkiraan.
Di Indonesia sendiri, produksi feronikel mencapai 535,2 ribu ton dari target 2023 yang mencapai 628,9 ribu ton. Sementara komoditas nickel matte terealisasi 71,4 ribu ton dari target 75.000 ton.