Farwiza Farhan, konservasionis asal Banda Aceh. (Instagram.com/wiiiiza)
Farwiza Farhan bahkan sudah dihadapkan dilema sejak merintis cita-citanya. “Saat baru memulai, semua bilang, ‘kamu enggak bisa melakukan semua sekaligus. Harus fokus. Kamu tak bisa menekuni pendidikan, sambil bergelut di bidang kehutanan dan pertanian–kamu harus memilih’,” ceritanya, seperti dilansir dari TIME.
Tapi, waktu itu ia berpikir, apa gunanya ia mengenyam pendidikan tinggi dan kembali ke desa, hanya untuk mati karena buruknya sanitasi di sana? Dus, ia yakin hal yang ditekuninya saling berhubungan–sehingga keduanya tak boleh ditinggalkan.
“Kita perlu memecahkan problem itu secara bersamaan,” katanya.
Berbekal mimpi masa kecil, sarjana jebolan Universitas Sains Malaysia pada 2007 itu mulai mencari pekerjaan di sektor konservasi. Sayang, upaya awalnya itu berbuah nihil. Mengutip theorangutanproject, sebagai lulusan baru, ia kesulitan mencari pekerjaan di bidang itu.
Kendati begitu, asanya tak pupus. Tantangan itu malah membuatnya berambisi meraih gelar magister. Pada 2008 sampai dengan 2010, ia menekuni pendidikan Master Manajemen Lingkungan dan Pengembangan Berkelanjutan di Departemen Geografi Universitas Queensland.
Setelahnya, ia mendapat pekerjaan pertama sebagai konservasionis di bawah naungan lembaga pemerintah yang mengelola dan melindungi Ekosistem Leuser, Sumatra. Itu salah satu paru-paru terbesar dunia, menyerap CO2 lewat pepohonan rindangnya.
Sejak masuk ke dunia konservasionis, Farwiza jadi lebih banyak tahu tentang eksploitasi hutan ilegal. Dari situ ia sadar, jalan yang waktu kecil ia pertanyaan keberadaannya, justru membawa sejumlah petaka bagi lingkungan; pembalakan liar, perluasan pertanian masif, hingga perburuan liar.
Maka, saat lembaganya dibubarkan pemerintah, Farwiza Farhan dan rekan-rekan memutuskan mendirikan HAkA (Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh). Misi organisasi nirprofit itu bermuara pada kesejahteraan hutan, dengan menghimpun masyarakat sipil berdaya yang berkontribusi terhadap tujuan HAkA.
Berbagai cara dilakukan, dari melindungi dan menjaga kualitas udara, air, dan tanah; menjaga hutan yang lebih aman dan stabil bagi generasi masa depan; serat membawa kasus pelanggaran di hutan ke meja hijau.Sebagai contoh, HAkA catatkan sejarah ketika menang melawan pemegang konsesi untuk produksi minyak kelapa sawit, lalu mendapatkan kompensasi US$26 juta dolar untuk revitalisasi hutan.
Peran Farwiza Farhan dan rekan-rekannya krusial. Sebab, lengah sedikit saja, penebangan masif untuk kepentingan tertentu dapat merusak keseimbangan ekosistem di wilayah perlindungannya.
Tak semua pahlawan memakai jubah. Beberapa seperti Farwiza Farhan, kerap memakai seragam konservasionis warna cokelat.