NEWS

APNI Ungkap Nikel Impor dari Filipina Berkadar Rendah, Melimpah di RI

APNI minta kebutuhan smelter dan produksi tambang selaras.

APNI Ungkap Nikel Impor dari Filipina Berkadar Rendah, Melimpah di RINickel Mining in Morowali. Shutterstock_Eri Saferi
06 September 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan bijih nikel impor dari Filipina berkadar rendah. Komentar tersebut mengoreksi pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, sebelumnya bahwa impor dilakukan untuk menutupi kekurangan pasokan nikel yang hilang akibat penambangan ilegal di Blok Mandiodo, Konawe Utara.

Menurut Meidy, bijih nikel yang berasal dari blok tersebut rata-rata memiliki kandungan nikel tinggi (1,5-3 persen) alias saprolite. Sementara bijih impor memiliki kandungan nikel rendah atau limonite (0,8-1,5 persen), dan tidak cocok dengan smelter yang membutuhkan bahan baku nikel dari blok tersebut.

Di sisi lain, produksi nikel berkadar rendah justru melimpah di Indonesia.

"Illegal mining kemarin, itu bijih nikel kadar tinggi. Dan kami tahu persis yang diimpor. Kami punya data itu impornya biji nikel kadar rendah 1,2 persen," ujarnya dalam Konsultasi Publik - Rancangan Peraturan Menteri ESDM terkait RKAB, Rabu (6/9).

Laporan tahunan Antam 2022 menunjukkan Blok Mandiodo memiliki bijih dengan kandungan nikel di atas 1,2 persen. Untuk bijih nikel saprolite, terindikasi bijih dengan kandungan nikel 1,77 persen sebanyak 1,61 juta ton sementara cadangan terekanya dengan kandungan nikel 1,74 persen mencapai 4,43 juta ton.

Cadangan limonite yang terindikasi mencapai 6,17 juta ton dengan kadar nikel 1,42 persen dan cadangan tereka sebanyak 2,17 juta ton dengan kadar nikel 1,43 persen.

"Ini beberapa hal yang kami butuh mediasi dari Bapak, bagaimana antara penambang dan smelter terjadi keseragaman kesinambungan supply chain-nya," kata Meidy.

Jadi sorotan Komisi VII

Sebelumnya, isu impor nikel ini sempat menjadi sorotan dalam rapat kerja antara Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM (31/8).

Saat itu, anggota Komisi VII DPR RI, Muhammad Nasir, mempertanyakan perihal perusahaan smelter asal Indonesia yang melakukan impor bijih nikel. Menurutnya, hal ini ironis mengingat selama ini Indonesia dikenal sebagai penghasil nikel terbesar di dunia.

”Kita sampaikan di mana-mana bahwa penghasil nikel terbesar ini nomor satu di dunia itu Indonesia. Nah malah ini sebaliknya, hari ini kita mengimpor,” kata Nasir.

Menteri ESDM Arifin Tasrif menilai keputusan perusahaan tersebut melakukan pembelian bijih nikel dari Filipina lantaran tersendatnya pasokan bahan baku yang berasal dari Blok Mandiodo. Sementara itu, operasi tambang Blok Mandiodo saat ini tengah dihentikan menyusul adanya kasus tindak pidana korupsi pada wilayah IUP milik PT Antam tersebut.

"Kita sudah telusuri berita-berita tersebut. Terindikasi perusahaan yang impor itu adalah perusahaan yang selama ini mengambil bahan baku dari Blok Mandiodo yang saat ini bermasalah," ujarnya.

Lantaran perusahaan tersebut harus melanjutkan proses pengolahan dan terikat kontrak dengan off-taker, maka, kata Arifin, pembelian bijih nikel dari luar negeri akhirnya harus dilakukan.

"Mereka mengambil langkah ini karena memang secara keseluruhan karena tidak boleh ekspor ore nikel semua produsen tambang sudah terikat dengan off-taker smelter yang sedang berjalan," ujarnya.

Related Topics