Jakarta, FORTUNE - Kenaikan harga kapas dunia yang mencapai level tertinggi dalam 10 tahun terakhir sepertinya belum berdampak ke industri tekstil domestik. Industri lokal tidak banyak menggunakan kapas sebagai bahan baku pembuatan produk-produk tekstil untuk pasar dalam negeri.
“Sebenarnya kalau buat industri kami enggak terlalu khawatir,” kata Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wirawasta kepada Fortune Indonesia, Kamis (7/10). “Industri lokal enggak banyak yang menggunakan kapas.”
Fortune.com sebelumnya melaporkan, harga kapas pada perdagangan pekan ini US$1,05 per pon, atau naik 18 persen dari akhir September. Secara year-to-date/ytd, harga kapas telah naik 35 persen. Posisi harga tersebut juga menjadi yang tertinggi sejak November 2011.
Kenaikan harga kapas ini dikhawatirkan dapat berdampak pada lonjakan harga pakaian pada bulan-bulan mendatang. Kondisi ini akhirnya berdampak kepada konsumen.
Di Amerika Serikat (AS), harga pakaian jadi naik pada Agustus tahun ini sebesar 4,2 persen. Namun, kenaikan harga ini sejalan dengan laju inflasi.
Namun, menurut Redma, kenaikan harga—terutama di pasar lokal—diperkirakan takkan terjadi. Pasalnya, kata dia, porsi impor bahan baku kapas untuk pasar dalam negeri hanya sedikit.
Berdasarkan catatan Redma, setiap tahun impor kapas mencapai 600 ribu ton, dan 400 ribu ton di antaranya digunakan industri dalam negeri untuk ekspor. 200 ribu ton sisanya ditujukan untuk pasar lokal.
“Ekspor pun sekarang juga agak terkendala sama harga kontainer yang mahal. Jadi mungkin ada beberapa yang masih bisa ekspor tapi effort-nya keras untuk bisa dapat cost yang bagus. Sementara di pasar lokal konsumsi kapas memang enggak banyak,” katanya.