Jakarta, FORTUNE - Gema 'sound horeg' yang beberapa tahun belakangan menjalari berbagai acara dan ruas-ruas di Jawa Timur kini beradu dengan gema fatwa haram. Sebuah polemik luas sontak bergulir, menyeret pondok pesantren, organisasi Islam terbesar, pemerintah daerah, hingga akademisi ke dalam perdebatan sengit antara ekspresi budaya, ketertiban umum, dan norma agama.
Titik api perdebatan ini berasal dari Pondok Pesantren (Ponpes) Besuk di Pasuruan, Jawa Timur. Melalui forum Bahtsul Masail pada awal Muharram 1447 H, ponpes tersebut secara resmi mengeluarkan fatwa haram untuk fenomena hiburan keliling itu.
KH Muhibbul Aman Aly, Pengasuh Ponpes Raudlatul Ulum Besuk, Kajayan, Pasuruan, Jawa Timur, menjelaskan fatwa tersebut lahir dari keresahan masyarakat yang kian memuncak pascapandemi. Dalam penjelasannya kepada Republika, Minggu (6/7), ia membeberkan tiga alasan utama di balik pengharaman tersebut.
Pertama, suara yang ditimbulkan dianggap sangat mengganggu dan menyakiti orang lain.
"Karena disediakan dengan suara keras, hampir dipastikan itu mengganggu pada orang lain, menyakiti orang lain. Itu satu poin juga haram," kata ulama yang biasa dipanggil Gus Muhib itu.
Kedua, sound horeg dinilai mengandung kemungkaran. Ia menyebut banyak aktivitas dalam pertunjukan itu yang melanggar syariat, seperti joget tak senonoh, pergaulan bebas, hingga konsumsi minuman keras. Ketiga, adanya potensi kerusakan moral dan akhlak pada generasi muda, terutama anak-anak yang turut menonton.
Fatwa ini dengan cepat mendapat respons dari berbagai kalangan. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Fahrur Rozi, menyatakan sound horeg bisa menjadi haram jika terbukti menimbulkan kerusakan (mafsadah) dan menjadi sarana maksiat.
"Jika sound horeg menimbulkan mafsadah, mengganggu orang lain dan menjadi sarana untuk maksiat seperti mabuk-mabukan, joget pargoy dan sejenisnya, tentu bisa menjadi haram," ujarnya seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Dukungan lebih tegas datang dari Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, KH Ma'ruf Khozin. Ia menilai fatwa dari Ponpes Besuk sudah tepat karena didasarkan pada pertimbangan fikih yang benar.
Di tengah desakan dari ranah agama, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengambil sikap hati-hati. Wakil Gubernur Emil Dardak mengaku tengah mencari jalan tengah. Pihaknya telah berkomunikasi dengan kepolisian dan berencana membuka dialog dengan para pegiat sound horeg.
"Perlu ada solusi untuk memastikan bahwa masyarakat tetap terlindungi," kata Emil dikutip dari CNN Indonesia.
Dari universitas, suara berbeda muncul. Akademisi Universitas Muhammadiyah Surabaya, M. Febriyanto Firman Wijaya, mengingatkan agar polemik ini tidak dipandang secara hitam-putih. Menurutnya, sound horeg juga merupakan bagian dari ekspresi budaya dan seni yang hidup di masyarakat.
Mengutip kaidah fikih 'hukum asal segala sesuatu adalah boleh', ia mempertanyakan apakah dalil untuk mengharamkan sudah cukup kuat.
“Kita butuh pendekatan yang tidak hanya normatif, tapi juga kontekstual dan humanis. Jangan sampai fatwa menjadi alat pemisah antara nilai agama dan budaya yang sebenarnya bisa bersinergi,” ujarnya dikutip dari laman Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Sementara itu, di tingkat akar rumput, dentuman sound horeg seolah tak terpengaruh. Laporan Radar Mojokerto menyebutkan, sebuah acara sedekah desa di Jombang pada Sabtu (5/7) justru diramaikan oleh belasan tim sound horeg dari berbagai kota.
Bagi yang belum familiar, sound horeg adalah rangkaian sistem suara raksasa yang dibawa menggunakan truk. Istilah "horeg" dari bahasa Jawa berarti bergetar, merujuk pada getaran besar yang mampu merusak bangunan di sekitarnya. Bagi penikmatnya, ini adalah sensasi; bagi yang lain, ini adalah polusi suara.