Jakarta, FORTUNE - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyoroti risiko stabilitas keuangan negara-negara Asean di tengah ketergantungan yang besar pada mata uang dolar untuk perdagangan internasional dan penyelesaian investasi. Apalagi, berbagai negara dihadapkan dengan berbagai tantangan berat seperti inflasi yang masih tinggi, kondisi likuiditas yang lebih ketat, dan ruang kebijakan yang lebih sempit.
Dalam forum dialog kebijakan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara Anggota ASEAN+3 (AFMGM +3) yang digelar Selasa (2/5), Perry menekankan perlunya inovasi untuk menjaga stabilitas untuk merespons kondisi tersebut.
Salah satunya dengan memperkuat dan meningkatkan kerja sama di antara negara-negara ASEAN+3 dalam konektivitas pembayaran dengan mempromosikan penggunaan mata uang lokal yang lebih luas untuk transaksi.
Dalam siaran resmi bersama Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, AFMGM+3 disebut menyambut baik dan mengakui perkembangan kajian Sistem Pembayaran Lintas Batas di ASEAN+3, khususnya mengenai Penguatan Transaksi Mata Uang Lokal (Local Currency Transactions-LCT) dalam pembahasan Isu Tematik ASEAN+3.
Mengingat situasi pandemi COVID-19 yang jauh lebih membaik, kawasan Asean menyadari perlunya pengurangan dukungan kebijakan terkait Covid-19 dengan tetap melaksanakan langkah-langkah kebijakan yang dikalibrasi secara hati-hati untuk mengendalikan inflasi, serta menjaga stabilitas moneter dan keuangan.
Selain itu, sektor-sektor utama seperti ekonomi hijau dan ekonomi digital, juga perlu diperkuat untuk memastikan keberlanjutan fiskal jangka panjang, dan mempromosikan pertumbuhan yang kuat, tangguh, dan berkelanjutan.
Dalam kesempatan sama, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan bahwa terlepas dari efek pandemi Covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina yang meningkat menjadi krisis, pertumbuhan ekonomi ASEAN+3 cukup kuat, yakni 3,2 persen pada 2022.
Selain itu, meski gejolak sektor perbankan baru-baru ini terjadi di AS dan Eropa, hal tersebut memiliki dampak rambatan yang terbatas di kawasan ASEAN+3. Asia Tenggara sendiri diperkirakan akan tumbuh 4,6 persen pada 2023, dipacu oleh permintaan domestik yang kuat karena pemulihan ekonomi terus menunjukkan perbaikan. Meski demikian, Sri Mulyani menyatakan kewaspadaan ke depan diperlukan.
Terkait hal tersebut, forum AFMGM +3 juga mengakui bahwa prospek pertumbuhan jangka panjang untuk kawasan ini bergantung pada bagaimana kawasan ini mengelola risiko yang terkait dengan kemungkinan pandemi dan perubahan iklim di masa depan, termasuk bencana alam yang lebih sering dan parah.
Karena itu, forum bersepakat tentang pentingnya kolaborasi menuju pemulihan yang kuat dan inklusif serta membuat kemajuan berkelanjutan dalam agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan, untuk mencapai pembangunan global yang lebih kuat, lebih hijau, lebih tangguh, dan seimbang.