Jakarta, FORTUNE - Dana Moneter Internasional (IMF) mengkritik kebijakan burden sharing di negara-negara berkembang selama pandemi Covid-19, seperti yang dilakukan antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan sebagai strategi pembiayaan APBN.
Menurut IMF, kebijakan itu berisiko mengganggu stabilitas harga lantaran pembelian aset akan berpengaruh pada neraca bank sentral sendiri. BI misalnya, dapat kehilangan uang jika mereka terus membeli surat utang negara atau perusahaan ketika suku bunga rendah di masa jatuh tempo, lalu kemudian suku bunga kebijakan naik tajam.
"Neraca yang lebih lemah dapat membuat bank sentral kurang bersedia atau tidak mampu memenuhi tujuan yang diamanatkan ketika pengetatan kebijakan diperlukan karena kekhawatiran bahwa tindakan kebijakan yang diperlukan akan merugikan posisi keuangannya sendiri," tulis IMF dalam situs resminya, dikutip Rabu (12/1).
Di samping itu, independensi bank sentral juga dapat terganggu akibat risiko "dominasi fiskal". Ini bisa terjadi ketika pemerintah menekan bank sentral untuk mengejar tujuan pemerintah. Jadi, sementara bank sentral dapat memulai pembelian aset—sesuai dengan tujuan yang diamanatkannya—mungkin sulit untuk keluar.
"Pemerintah mungkin menjadi terbiasa dengan pembiayaan murah dari tindakan bank sentral dan menekan bank sentral untuk melanjutkan, bahkan jika inflasi naik dan stabilitas harga harus dilakukan dengan mengakhiri pembelian. Hilangnya kepercayaan terhadap kemampuan bank sentral untuk menjaga inflasi tetap rendah dan stabil dapat memicu periode inflasi yang tinggi dan bergejolak," lanjut IMF.