Jakarta, FORTUNE - Indonesia bakal menghadapi sejumlah tantangan berat perekonomian pada akhir tahun nanti. Pemerintah perlu mewaspadai tiga hal dalam dua bulan terakhir 2022 ini. Pertama, penurunan Purchasing Managers' Index (PMI). Lalu, perang suku bunga simpanan. Dan yang terakhir, tergerusnya cadangan devisa.
Peringatan itu disampaikan oleh Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto dalam konferensi pers bertajuk "Respons INDEF terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kuartal-III Tahun 2022", Selasa (8/11).
Menurutnya, PMI Manufaktur mulai turun pada Oktober lalu. Meski masih berada pada 51,8—level ekspansif—secara triwulanan ia harus tumbuh di atas 1 persen untuk bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi pemerintah 5,2 persen pada akhir tahun.
"Triwulan keempat tak bisa hanya tumbuh 1 persen. Jadi harus tumbuh minimal di atas 1 persen. Atau kalau bisa sama seperti triwulan III, yaitu 1,2. Kuartalannya ya. Sementara ini tinggal dua bulan. Bahkan kurang dari dua bulan karena November sudah berjalan," ujarnya.
Dalam hal suku bunga perbankan, 'perang' dapat terjadi lantaran saat ini dana pihak ketiga (DPK) perbankan telah mulai surut karena roda perekonomian mulai bergerak dan masyarakat mulai membelanjakan uangnya.
Di sisi lain, pertumbuhan kredit perbankan ikut meningkat sehingga likuiditas perbankan berpotensi menjadi seret. Karena itu, Eko menilai perbankan akan mulai menaikkan suku bungan simpanannya untuk menarik lebih banyak DPK.
"Bank tidak boleh kekurangan likuiditas. Jadi, caranya adalah naikkan bunga. Dan tren globalnya juga naikkan bunga. Tahap berikutnya adalah kenaikkan bunga perbankan, sepertinya ke depan ini tak bisa dihindari," katanya.
Implikasi negatif dari kebijakan tersebut adalah konsumsi akan kembali melambat karena orang lebih memilih memupuk dananya di bank. "Ujungnya, ekonomi bisa melambat. Ini yang harus diantisipasi. Kalaupun ada penyesuaian suku bunga, misalnya, harus lebih moderat," ujarnya.