Jakarta, FORTUNE - Pemerintah memiliki utang jatuh tempo sebesar Rp800,33 triliun pada 2025. Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani manyatakan risikonya terhadap keberlangsungan fiskal tidak akan terlalu besar selama APBN dapat dijaga tetap kredibel, kondisi perekonomian tetap baik, dan politik dalam negeri tetap stabil.
Jika suatu negara mengalami jatuh tempo pokok utang surat berharga negara (SBN), risiko yang dihadapi suatu negara bukan pada besaran pokok utang yang jatuh tempo, tapi apakah negara tersebut mampu melakukan revolving atau perpanjangan pembiayaan dengan tingkat bunga yang dianggap adil.
Hal tersebut berbeda dari utang dalam bentung pinjaman, yang ketika jatuh tempo akan menimbulkan risiko lebih besar.
"Kalau negara ini tetap kredibel, APBN-nya baik, kondisi ekonominya baik, kondisi politiknya stabil, maka revolving itu sudah hampir dipastikan risikonya sangat kecil, sehingga market beranggapan negara ini akan tetap sama," ujarnya dalam rapat dengan Komisi XI, Kamis (7/6).
Sri Mulyani menjelaskan bahwa revolving bukan berarti hanya memindahkan beban utang ke pemerintahan selanjutnya, melainkan salah satu strategi pengelolaan utang yang tidak bisa dilepaskan dari kondisi makro ekonomi.
Sebagai gambaran, jika pemerintah selanjutnya dapat mengurangi defisit APBN dan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi, maka dengan sendirinya pokok utang serta bunga utang baru dari utang jatuh tempo tersebut lama-kelamaan akan turun dan bisa terbayar lunas.