Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
ilustrasi menggunakan VR (pexels.com/Jessica Lewis)
ilustrasi menggunakan VR (pexels.com/Jessica Lewis)

Jakarta, FORTUNE - Industri ekonomi kreatif (ekraf) Indonesia menunjukkan potensi besar sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan data Lokadata.id, tiga subsektor utama, film, musik, dan gim, diperkirakan menyumbang sekitar Rp1.300 triliun atau 7,8 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurut Chief Data Officer Lokadata.id, Suwandi Ahmad, sektor ekraf juga berkontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja, dengan lebih dari 24 juta tenaga kerja yang terlibat di dalamnya. “Subsektor film, musik, dan gim menjadi pendorong utama pertumbuhan ini. Ketiganya mengalami lonjakan permintaan seiring meningkatnya konsumsi digital di kalangan generasi muda,” ujarnya dalam keterangan pers, Kamis (9/10).

Suwandi menambahkan, ketiga subsektor tersebut kini menyumbang sekitar 25 persen dari total nilai ekonomi kreatif nasional, seiring dengan maraknya konsumsi konten lokal dan tren experience-driven economy di kalangan anak muda. Transformasi digital telah mengubah cara masyarakat menikmati hiburan—dari pola konsumsi pasif menjadi partisipatif.

Entertainment kini menjadi arena pembentukan identitas. Generasi muda kini berperan bukan hanya sebagai penikmat, melainkan juga kreator—mereka membuat, meniru, membagikan ulang, dan menjadi bagian dari percakapan global," ujarnya.

Data Lokadata menunjukkan 95 persen anak muda Indonesia mengakses musik setiap minggu, sementara 40 persen di antaranya mendengarkan musik daring lebih dari satu jam setiap hari. Selain itu, 92 persen bermain gim dan 89 persen menonton film, dengan komposisi gender 53 persen laki-laki dan 45 persen perempuan pada rentang usia 18–24 tahun.

Sebanyak 95% anak muda Indonesia mengakses musik. (Dok/Istimewa).

Suwandi menilai media sosial menjadi katalis utama pertumbuhan musik lokal, dengan 54 persen anak muda menemukan lagu baru melalui TikTok, Instagram, dan X (Twitter). “Viralitas di media sosial menciptakan demokratisasi akses. Siapa pun, bahkan dari daerah, bisa dikenal secara global hanya dengan satu karya yang autentik,” katanya.

Konsumsi hiburan digital juga dibarengi dengan kembalinya minat terhadap pengalaman langsung. Sekitar 80 persen anak muda menonton konten OTT seperti Netflix melalui ponsel, sementara 57 persen masih rutin ke bioskop. “Fenomena ini menunjukkan keseimbangan antara konsumsi digital dan pengalaman nyata. Bioskop tetap menjadi simbol perayaan sosial terhadap karya film,” ujar Suwandi.

Sementara itu, CEO Confiction Labs, Arief Widhiyasa, mengungkapkan bahwa nilai ekonomi global industri gim telah mencapai US$192,7 miliar, menjadikannya sektor hiburan terbesar di dunia—melampaui film dan musik. “Di Indonesia, pertumbuhan industri gim meningkat pesat, dari US$10 juta pada tahun 2000 menjadi hampir US$100 juta pada 2025. Mayoritas pemain menggunakan smartphone, yakni sekitar 66 persen dari total pengguna,” jelasnya.

CEO GDP Venture, Martin Hartono, menilai kekuatan budaya Indonesia memiliki potensi menjadi soft power global, tak hanya melalui film, musik, atau gim, tetapi juga lewat nilai-nilai dan simbol budaya yang dikenal dunia. “India menjadi contoh yang berhasil, mereka dikenal dunia melalui Bollywood-nya. Indonesia juga memiliki potensi serupa dengan kekayaan budayanya yang sangat beragam,” katanya.

Dengan demikian, GDP Venture melalui 88rising berupaya membangun identitas unik musisi Indonesia agar dapat bersaing di panggung global. “Pendekatan kami bukan meniru tren seperti K-pop atau J-pop, melainkan menampilkan karakter dan nilai khas Indonesia yang justru menjadi daya tarik tersendiri di mata dunia,” ujar Martin.

Editorial Team