Jakarta, FORTUNE - Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA) Irtiza Sayyed mengatakan industri migas nasional membutuhkan regulasi untuk medorong upaya transisi enegi. Pasalnya, meskiun EBT dianggap akan lebih efisien, komoditas migas masih tetap lebih ekonomis untuk saat ini.
"Tidak dapat dimungkiri bahwa sektor migas masih lebih masuk akal dari sudut pandang ekonomi untuk saat ini,” katanya dalam diskusi bertajuk “Indonesia’s Upstream Oil and Gas Strategy to Support Energy Transition” pada The 46th IPA Convention and Exhibition, Kamis (23/9).
Para panelis dalam High Level Roundtable Talk pagelaran tersebut juga sepakat bahwa peran sektor migas dalam transisi tak boleh dilupakan. Sebab, industri ini telah emiliki sumber daya, infrastruktur dan aspek pendukung lainnya.
Di satu sisi, kebutuhan energi juga diprediksi akan naik lebih dari dua kali lipat dari 2025 ke 2050. Sektor migas dituntut untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tersebut. Saat ini Indonesia memiliki target 1 juta BOPD/12 BSCFD.
Diproyeksikan, kesenjangan antara permintaan dan produksi pada 2050 sebesar 83 persen untuk minyak serta 78 persen untuk gas. Sehingga, Irtiza menyebutkan saat ini sektor migas dihadapkan tantangan ganda berupa pemenuhan kebutuhan konsumsi dan pencapaian target NZE.
Irtiza menambahkan, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah penting selama masa transisi energi. Beberapa di antaranya adalah menarik investasi serta memperbaiki regulasi yang ada dan skema perpajakannya.
Untuk mendukung transisi energi yang mengedepankan proses berkelanjutan, Irtiza menyebutkan penggunaan Carbon Capture Storage (CCS)/Carbon Capture, Utilizaton and Storage (CCUS) dapat menjadi solusinya. CCS/CCUS berfungsi menangkap karbon hasil eksplorasi untuk mendukung agenda mengurangi emisi.
“Sehingga, sektor migas Indonesia perlu melakukan kerja sama multi-dimensi untuk mendorong upaya berkelanjutan dengan teknologi CCS/CCUS,” ucap Irtiza.