Jokowi Ingatkan Soal Perlindungan Kedaulatan Digital Indonesia

Jakarta, FORTUNE – Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta kedaulatan digital Indonesia harus bisa terlindungi di tengah kecepatan arus digitalisasi global.
“Kita harus melindungi kedaulatan digital kita dan betul-betul kita pertahankan yang namanya kandungan lokal, barang lokal. Kalau enggak bisa 100 persen barang kita, ya paling tidak 90 persen, 80 persen kandungan lokalnya,” ujar Presiden saat memberi pengarahan pada peserta PPSA XXIV dan alumni PPRA LXV Tahun 2023 Lemhannas, Rabu (4/10).
Menurutnya, data, informasi, akses pasar itu adalah barang yang sangat berharga di dunia digital. Terlebih di era Artificial Intelligence (AI), big data analytic, machine learning, yang mampu memprediksi perilaku manusia. "Bahkan tadi kalau sudah masuk ke politik bisa mengarahkannya hanya, sekali lagi, bermodalkan data dan informasi,” kata Jokowi.
Untuk itu, regulasi yang berkaitan dengan perlindungan kedaulatan digital Indonesia harus terus diperkuat, untuk bisa mengejar perkembangan dunia digital yang begitu cepat dan masif. Namun, persoalan regulasi di Indonesia selalu rumit dan berlangsung terlalu lama.
<p>Jadi produsen, bukan konsumen</p>
Presiden menegaskan bahwa Indonesia harus jadi produsen di sektor digital. “Artinya kalau kita punya aplikasi yang masuk ke sana produsen dari produsen-produsen, dari barang-barang yang kita produksi sendiri,” katanya.
Hal ini sangat penting, telebih penjajahan di era modern bisa terjadi di sektor digital dan menyentuh sektor lainnya, termasuk ekonomi dan politik. Padahal, Indonesia memiliki potensi ekonomi digital yang sangat besar, mengingat jumlah penduduk yang sangat besar dan bisa jadi pasar menjanjikan bagi banyak pihak.
“Tahun 2020 di catatan saya US$44 miliar, tahun 2022 US$77 miliar, tahun 2025 US$146 miliar, dan 2030 diperkirakan US$360 miliar,” ujar Jokowi. “
Jika Digital Economy Framework Agreement di ASEAN ini berhasil diselesaikan negosiasin di 2025, maka nilai US360 miliar tersebut akan meningkat dua kali lipat jadi US$720 miliar atau Rp11.250 triliun. "Sangat besar sekal,” katanya.