Jakarta, FORTUNE - Kelangkaan solar di sejumlah daerah diprediksi bakal menambah beban pendongkrak inflasi pada Maret hingga April mendatang. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Rendy Yusuf Manilet mengatakan hal ini lantaran kenaikan harga energi memiliki efek rambat cukup besar terhadap komoditas pokok lainnya.
"Month to month (mtm) atau secara bulan inflasi akan lebih tinggi sampai Idulfitri karena harga pangan sudah naik sejak Maret. Dan ditambah sentimen harga energi yang memberi spillover ke harga pangan dalam negeri," ujarnya kepada Fortune, Selasa (29/3).
Rendy memproyeksi inflasi bulanan pada Maret akan berada di kisaran 0,6 persen sampai 0,8 persen atau berbanding terbalik dari deflasi Februari sebesar 0,02 persen.
Sementara di bulan depan, selama momentum Ramadan hingga lebaran, dapat kembali meningkat ke kisaran 0,8 persen sampai 9 persen.
Menurut Rendy, kenaikan inflasi memang hal lumrah pada selama bulan puasa hingga lebaran. Pasalnya, di periode tersebut kecenderungan masyarakat untuk melakukan konsumsi biasanya meningkat.
Karena itu, sebelum pandemi, rata-rata inflasi pada momentum tersebut berada di kisaran 0,9 persen sampai 1 persen. Namun tahun ini kondisi tersebut bisa menjadi lebih buruk sebab mahalnya harga sejumlah kebutuhan pokok sudah terasa lebih dari sebulan sebelumnya.
"Tapi kita harus hati-hati betul bahwa pemulihan mendorong permintaan tapi harga justru sudah naik jauh sebelum Ramadan. Dalam dua tahun terakhir fenomena ini belum terjadi," tutur Rendy.
Belum lagi, pemerintah akan mulai menaikkan tarif PPN sebesar 1 persen dari sebelumnya 10 persen menjadi 11 persen mulai depan. Meski kebijakan tersebut tak menyasar komoditas strategis seperti sembako, namun efek berantainya sudah pasti bakal dirasakan.
"Tentu akan ada penyesuaian harga di hilir setelah aturan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) itu diterapkan. Jadi menurut saya inflasinya aoaj lebih tinggi di April. Bahkan bisa sampai 1 persen," terangnya.