Ilustrasi : proses jual-beli daging di pasar. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.
Secara sederhana, harga eceran tertinggi diberlakukan untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen akhir. Karena sebenarnya dengan menetapkan HET pemerintah ingin memastikan setiap lapisan masyarakat yang ada di negaranya mampu membeli setiap barang yang dianggap esensial atau penting bagi keberlangsungan hidupnya.
Tujuan ini pula yang membuat tidak semua barang dikenakan harga eceran tertinggi. Barang-barang lain yang dianggap kurang esensial bagi kehidupan sehari-hari atau barang-barang yang tergolong sebagai kebutuhan tersier tidak memiliki batasan harga eceran tertinggi.
Akan tetapi, untuk barang-barang yang dipastikan akan berpengaruh pada hajat hidup orang banyak, misalnya saja harga bahan bakar minyak maupun obat-obatan, harga eceran tertinggi menjadi sesuatu yang dibutuhkan untuk memastikan siapa pun, terlepas dari kemampuan daya beli dan tingkat ekonominya, masih dapat membeli barang tersebut.
Secara teknis pemilik usaha bisa saja menjual suatu barang melebihi harga eceran tertinggi yang ditentukan. Namun, secara hukum pemilik usaha tidak boleh melakukannya.
Dengan kata lain, pemilik usaha yang ketahuan menjual suatu barang di atas harga eceran tertinggi dapat mendapat sanksi hukum.
Melansir hukumonline.com, jika pelaku usaha menetapkan harga beras di atas HET, misalnya, maka yang bersangkutan dapat dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha oleh pejabat penerbit izin, yang dilakukan setelah pelaku usaha yang bersangkutan diberikan peringatan tertulis maksimal 2 kali oleh pejabat penerbit izin, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 7 Permendag nomor 57 tahun 2017.
Kemudian mengenai HET obat terapi COVID-19, disarikan dari KPPU Siap Investigasi Kelangkaan dan Kenaikan Harga Obat Terapi COVID-19 (hal. 1), pelaku usaha yang bersangkutan dapat terindikasi melakukan pelanggaran persaingan usaha.
Oleh karenanya, yang bersangkutan dapat dijatuhi denda hingga 10 persen dari total penjualan produk tersebut, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.