Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Ilustrasi PLTU batu bara (dok. PT. PLN)
Ilustrasi PLTU batu bara (dok. PT. PLN)

Intinya sih...

  • Komitmen Indonesia dalam transisi energi diuji oleh biaya penalti pembatalan PLTU Cirebon-1.

  • IESR memperingatkan pembatalan ini akan menjadi sinyal negatif bagi investor.

  • Biaya pensiun dini PLTU yang tinggi dipicu oleh struktur kontrak masa lalu, kebijakan pemerintah, dan ketidakmampuan energi terbarukan bersaing secara adil.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Komitmen Indonesia menjalankan transisi energi menghadapi ujian berat. Wacana PT PLN (Persero) membatalkan penonaktifan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon-1 mencuat akibat kendala biaya penalti yang dinilai terlalu besar.

Biaya penalti untuk pengakhiran operasi pembangkit berkapasitas 660 megawatt (MW) tersebut diperkirakan mencapai Rp60 triliun selama lima tahun. Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai keraguan PLN ini dipicu oleh ketidakpastian persetujuan pemerintah yang tak kunjung turun. Padahal, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, sebelumnya telah menegaskan komitmennya mendukung pensiun operasional PLTU Cirebon-1.

IESR memperingatkan kegagalan memfinalisasi keputusan ini akan menjadi sinyal negatif bagi investor.

Pembatalan ini juga dipandang akan memperlambat laju dekarbonisasi sektor kelistrikan. Hal ini bertentangan dengan visi Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan 15 Agustus 2025 lalu, yang menargetkan Indonesia lepas dari energi fosil dalam satu dekade mendatang.

Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, menyatakan alasan tingginya biaya pensiun dini hanyalah perhitungan di atas kertas yang mengabaikan dampak ekonomi lebih luas. Menurutnya, mahalnya biaya tersebut berakar dari struktur kontrak masa lalu dan kebijakan pemerintah sendiri.

“Secara umum, biaya pensiun dini PLTU menjadi mahal karena struktur Purchase Power Agreement (PPA) PLTU, yang memuat klausul take or pay (TOP) yang membuat PLN harus membayar listrik pada tingkat kapasitas tinggi dan kontrak PPA selama 30 tahun, tiga kali dari waktu normal pengembalian investasi (payback period),” ujar Fabby.

Ia menambahkan, kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk batu bara membuat harga bahan bakar seolah-olah murah karena risikonya ditanggung negara dan PLN.

“Kebijakan ini juga membuat pembangkit energi terbarukan tidak dapat berkompetisi secara adil,” katanya.

Berdasarkan studi IESR pada 2022, biaya memensiunkan 9,2 gigawatt (GW) PLTU sistem PLN pada 2030 demi mencapai target Persetujuan Paris membutuhkan dana sekitar US$4,6 miliar (Rp73,6 triliun). Angka ini akan meningkat menjadi US$27,5 miliar (Rp440 triliun) untuk sisa PLTU hingga 2045.

Namun, potensi penghematannya jauh lebih fantastis.

Subsidi listrik batu bara yang dapat dihindari mencapai US$34,8 miliar (Rp556 triliun), sementara penghematan biaya kesehatan publik diproyeksikan menembus US$61,3 miliar (Rp980 triliun) pada periode yang sama.

Memang, dibutuhkan investasi raksasa sekitar US$1,2 triliun-1,3 triliun hingga 2050 untuk membangun energi terbarukan, jaringan listrik, dan penyimpanan energi pengganti. Namun, seluruh infrastruktur tersebut nantinya akan menjadi aset negara dan PLN, bukan dinikmati oleh pemilik aset swasta semata.

Editorial Team