Jakarta, FORTUNE - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) secara umum menilai pengaturan komoditas gula, baik rafinasi maupun kristal putih (GKP), cenderung mengarah pada inefisiensi dan ketidakadilan bagi konsumen.
Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa, mengatakan pihaknya telah meluncurkan kajian demi mengatasi persoalan yang mendera industri gula Indonesia. Hasil kajian tersebut menunjukkan industri gula cenderung berkembang menjadi oligopoli, dari sisi produsen sampai dengan distribusinya, dan membuka peluang koordinasi antar pelaku usaha dalam mengendalikan industri dimaksud.
Sebagai contoh, penetapan harga acuan penjualan, yang terbukti merugikan konsumen akhir karena mengacu pada industri yang tidak efisien (pabrik dengan mesin tua atau produktivitas rendah).
Ujung dari inefisiensi itu adalah harga gula di dalam negeri menjadi tinggi, dan konsumen pun walhasil harus membayar mahal guna mendapatkannya.
Pada sisi lain, sistem itu sangat menguntungkan produsen gula yang sanggup menghasilkan produk dengan produktivitas tinggi serta biaya pokok relatif rendah.
“Industri yang belum efisien dalam produksinya tersebut membuat Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan harus melakukan impor,” kata dia dalam keterangannya yang dikutip Selasa (5/11).
Tahun ini saja misalnya, dengan kebutuhan nasional tahunan 2,93 juta ton dan produksi nasional 2,38 juta ton, Indonesia diperkirakan masih membutuhkan sekitar 708.000 ton gula impor.
Pangsa pasar produsen gula konsumsi dikuasai secara berurutan oleh PT Sinergi Gula Nusantara (PT SGN), Sugar Group, dan Gunung Madu.
Menurut Fanshurullah, kebijakan pemerintah untuk melakukan tata niaga impor justru semakin memperkuat struktur tersebut.
“Dalam kondisi ini, kebijakan pemerintah harus mampu membatasi potensi penyalahgunaan kekuatan oligopoli pelaku usaha di industri tersebut,” ujarnya.