Jakarta, FORTUNE - Di Filipina, para kreator konten digital kini mengambil peran baru yang tidak terduga: menjadi garda terdepan dalam perang melawan korupsi. Melalui platform seperti TikTok dan YouTube, mereka mengubah jutaan pengikut menjadi mata publik yang jeli, membongkar dugaan penyelewengan dana dalam proyek-proyek infrastruktur pemerintah bernilai miliaran peso.
Gerakan ini dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti sejarawan Mona Veluz, yang lebih dikenal dengan nama panggungnya Mighty Magulang.
Dengan pengikut lebih dari 1,9 juta di TikTok, Veluz menggunakan keahlian risetnya untuk menyelidiki proyek-proyek publik yang mencurigakan. Salah satu investigasinya yang paling viral, seperti diberitakan oleh South China Morning Post (SCMP), adalah pengendalian banjir Sungai Tarlac. Menurutnya, proyek tersebut tidak perlu karena secara alami dangkal.
“Saya tidak menuduh siapa pun. Saya hanya menunjukkan dokumen dan bertanya, ‘Apakah ini masuk akal?’” ujar Veluz dalam sebuah wawancara. Ia menyoroti bagaimana proyek semacam itu sering kali menjadi kedok untuk korupsi, dengan dana besar dialokasikan untuk pekerjaan minimal atau bahkan tidak ada sama sekali.
Dukungan terhadap gerakan ini juga datang dari kalangan akademisi seperti Gideon Lasco, seorang antropolog medis yang juga aktif di media sosial. Menurut laman The Star, dia memberikan analisis tajam mengenai bagaimana proyek-proyek pengendalian banjir sering kali menjadi "sumber pendapatan" bagi politisi korup.
Menurutnya, para kreator konten ini mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh media tradisional yang sumber dayanya terbatas, sekaligus memberdayakan warga biasa untuk ikut mengawasi.
Fenomena ini menunjukkan pergeseran signifikan dalam lanskap akuntabilitas publik. Para kreator tidak hanya menyajikan data dan dokumen resmi dengan cara yang mudah dicerna, tetapi juga memicu diskusi nasional.
Salah satu temuan Veluz yang paling mengejutkan adalah alokasi dana 200 miliar peso (sekitar US$3,4 miliar) untuk proyek pengendalian banjir antara 2017 dan 2022. Besarnya angka tersebut memicu pertanyaan publik tentang efektivitas dan transparansi penggunaannya, demikian SCMP.