Jakarta, FORTUNE - Pengamat ekonomi pertanian Bustanul Arifin menilai lonjakan harga kedelai di dalam negeri dipengaruhi oleh fluktuasi harga di tingkat global. Karena kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi oleh impor, pemberlakuan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) sulit diterapkan.
“Itu sepertiganya kita sudah paham (impor). Kalau pakai HET susah, karena kita tidak produksi sendiri,” kata dia saat diskusi daring, Rabu (23/2).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) volume impor kedelai pada 2021 mencapai 2,49 juta ton. Sedangkan, produksi kedelai nasional pada 2021 mencapai 613.318 ton dengan luas lahan 362,612 hektare. Jadi, mayoritas kebutuhan kedelai dalam negeri 80 persen dipenuhi oleh importasi.
Dengan besarnya porsi impor kedelai, Bustanul menilai kebijakan HET itu dirasa bakal memberatkan pemerintah. Pasalnya, Indonesia tidak punya kendali dalam mengatur harga kedelai di tingkat global. Kecuali, kedelai dapat dihasilkan di dalam negeri.
Volume impor hanya sekitar 2,5 juta sampai 3 juta ton setiap tahun, Bustanul menilai, angka itu relatif kecil bila dibandingkan negara pengimpor kedelai lainnya. Cina, kata dia, selalu mengimpor kedelai sampai 100 juta ton setiap tahun.
Bustanul menjelaskan jika Indonesia ingin berkontribusi terhadap produksi kedelai, maka harus dilakukan peningkatan kualitas kedelai domestik. Pasalnya, petani pun tidak akan menanam jika hasilnya nanti lebih rendah dari modalnya.
“Tidak ada petani rasional akan menanam kedelai dan meningkatkan produktivitasnya jika penerimaan ekonomi dari kedelai lebih rendah dari biayanya,” ujarnya.