Hal yang mendasar dalam Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah, yang dimulai dengan diterbitkannya UU Nomor 22 tahun 1999 sampai dengan UU No. 23 tahun 2014, adalah mendorong dan memberdayakan masyarakat, menumbuhkembangkan prakarsa dan kreativitas dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan pembangunan.
Dengan paradigma baru tersebut, pemerintah daerah diharapkan lebih siap menyongsong setiap perubahan yang terjadi di masa datang. Adapun urgensi otonomi kepada daerah, menurut Eko Koswara dalam Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Pemberdayaan (2001), didasarkan setidaknya pada empat pertimbangan.
Pertama, dari segi politik, pemberian otonomi dipandang untuk mencegah penumpukan kekuasaan di satu tangan yang akhirnya menimbulkan pemerintahan tirani dan totaliter serta anti-demokrasi.
Kedua, dari segi demokrasi, otonomi diyakini dapat mengikutsertakan rakyat dalam proses pemerintahan sekaligus mendidik rakyat menggunakan hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.
Ketiga, dari segi teknis organisatoris l pemerintahan, otonomi dipandang sebagai cara untuk mencapai pemerintahan yang eketif dan efesien serta lebih responsibel. Problem yang lebih penting untuk diurus pemerintah dan masyarakat setempat labih baik diserahkan ke daerah, sementara masalah yang lebih tepat berada di tangan pusat tetap diurus oleh pemerintah pusat.
Keempat, dari segi manajemen sebagai salah satu unsur administrasi, suatu pelimpahan wewenang dan kewajiban memberikan pertanggungjawaban bagi penunaian suatu tugas sebagai hal yang wajar.