Jakarta, FORTUNE – Perkembangan teknologi, terutama media sosial, membawa banyak perubahan juga dalam sistem interaksi manusia. Salah satu yang sedang marak adalah berkembangnya cancel culture.
Mengutip Jurnal First Monday, volume 26, cancel culture adalah fenomena di mana organisasi menyensor, memecat, atau mendorong selebritas atau rakyat jelata untuk mengundurkan diri setelah melanggar norma sosial, adat istiadat, dan hal tabu.
Sementara, dalam Jurnal Communication and The Public, menganggap bahwa cancel culture ada dalam konsep Habermas tentang ruang publik, di mana publik diwacanakan sebagai ranah elit. Fenomena ini pun berasal dari bentuk wacana publik–baik online maupun offline.
Menurut profesor sosiologi dan kriminologi di Universitas Villanova, Dr. Jill McCorkel, cancel culture bisa didefinisikan sebagai fenomena masyarakat menghukum seseorang karena perilaku yang dianggap melanggar norma sosial yang berlaku. Hal ini adalah perpanjangan atau evolusi dari serangkaian proses sosial yang lebih berani, yang terlihat dalam bentuk pengusiran dan bertujuan untuk memperkuat seperangkat norma.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa fenomena ini merupakan budaya memboikot seseorang yang dianggap bermasalah secara massal, misalnya saat orang tersebut mengatakan atau melakukan sesuatu yang dianggap tidak pantas atau menyinggung. Praktik pemboikotan massal ini biasanya juga diikuti dengan penghentian dukungan kepada orang tersebut.