Revitalisasi yang sedang dilakukan Museum Benteng Vredeburg. (Fortuneidn/Bayu Satito)
Definisi soal dark tourism, menurut culturaobscura.com, pertama kali dicetuskan oleh akademisi di Departemen Hospitality, Tourism & Leisure Management dari Glasgow Caledonian University, John Lennon dan Malcolm Foley, pada 1996.
Menurut mereka, dark tourism dapat disebut juga dengan wisata kelam yang mengacu pada kegiatan pariwisata ke berbagai tempat yang menyimpan kisah tragedi atau berhubungan dengan kematian masal.
Lennon dan Foley mengaitkan dark tourism dengan tindakan atau situasi tidak manusiawi yang dilakukan dialami oleh sebagian individu maupun kelompok, tercatat sejarah, dan bagaimana situasi ini ditafsirkan oleh para pengunjung kegiatan pariwisata tersebut. Saat ini, dark tourism sendiri banyak disebut dengan ungkapan seperti Thanatourism, Grief tourism, maupun Morbid tourism.
Biasanya, dark tourism berkaitan dengan sejarah atau kisah nyata yang pernah terjadi dan memiliki latar menyedihkan atau menyeramkan, seperti perang, bencana, dan kisah-kisah pemberontakan yang banyak memakan korban jiwa. Namun, dalam perkembangannya, dark tourism kini juga berhubungan dengan hal-hal mengerikan, seperti tempat terbengkalai, kota berhantu, kuburan, dan banyak lokasi menyeramkan lainnya.
Oleh sebab itu, dalam publikasi yang lebih baru yang dituliskan di tourismteacher.com, Kevin Fox Gotham mendefinisikan dark tourism sebagai kegiatan berkunjung ke tempat-tempat yang ditandai dengan kesusahan, kekejaman, kesedihan, dan rasa sakit. Sebagai komponen dark tourism yang lebih spesifik, wisata bencana bisa merepresentasikan situasi di mana produk pariwisata dihasilkan dari sebuah bencana besar maupun peristiwa traumatis.