Jakarta, FORTUNE - Ketika pandemi virus corona melanda, Juliet, bukan nama sebenarnya, memindahkan perdagangannya secara online layaknya para wirausahawan di seluruh dunia. Secara khusus, dia pindah ke OnlyFans, media sosial multi-miliar dolar yang mengombinasikan budaya influencer dan porno amatir. Di situ, para penggemar membayar tontonan eksplisit yang dimuat eksklusif bagi platform.
Juliet bilang langkah itu memberinya lebih banyak memberinya dan kendali. Seiring waktu, ia menggaet 100 pengikut yang bersedia membayar tarif keanggotaan US$9,99 per bulan. Bukan jumlah yang besar, memang, tetapi cukup untuk melunasi pelbagai tagihan, menabung, dan—yang tak kalah penting—menyisihkannya waktu untuk berlibur beberapa hari setiap pekan dari urusan seks komersial.
"Sebulan bisa dapat seribu dolar di luar uang tip dan permintaan khusus, serta pesan tayangan berbayar (pay-per-view)," kata Juliet, yang berasal dari North Yorkshire di Inggris.
Namun, sialnya, pada September mata pencahariannya terancam. OnlyFans yang bermarkas di London, sebuah komunitas berisi lebih dari 100 juta pengguna terdaftar, menyatakan akan melarang semua konten seksual eksplisit di platformnya. Dalih aksi tersebut adalah munculnya tekanan dari bank-bank yang memproses pembayaran pada platform itu.
Setelah protes keras dari orang-orang yang melakukan perdagangan di situs itu—orang-orang seperti Juliet—perusahaan berusia lima tahun itu memang berbalik arah. Namun, kerusakan sudah terjadi.
Fortune.com mewawancarai beberapa pekerja seks di OnlyFans. Empat di antaranya berbagi cerita dengan satu syarat: nama mereka disamarkan. Semua wawancara dilakukan melalui OnlyFans. Berikut kisahnya: