PBB Optimistis Perpanjangan Black Sea Initiatives Segera Disetujui

Jakarta, FORTUNE – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) optimistis perpanjangan durasi Black Sea Initiatives akan disetujui dan diumumkan sesegera mungkin. Hal ini diungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, setelah bertemu dengan Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres.
Ia mengapresiasi upaya PBB membentuk Black Sea Initiatives yang akan berlangsung hingga pertengahan November mendatang. “Pemerintah Indonesia mendukung perpanjangan Black Sea Initiatives hingga melampaui November 2022,” ujarnya dalam siaran pers, Jumat (28/10).
Airlangga mengatakan, Guterres berpendapat sanksi dunia pada sistem perbankan masih jadi hambatan bagi ekspor komoditi produk pertanian dan bahan baku pupuk di antara Rusia dan Ukraina. "Dalam menghadapi krisis pada sektor keuangan, agenda debt relief termasuk debt reduction masih terus diperjuangkan dan tengah mencari kata sepakat dalam Forum G20," katanya.
Black Sea Initiatives adalah perjanjian 120 hari berupa kesepakatan yang dipimpin PBB, dan disepakati Moskow dan Kyiv. Perjanjian ini mencakup persyaratan untuk mengekspor biji-bijian dari pelabuhan Ukraina yang diblokir oleh perang yang dimulai Rusia pada Februari lalu. Kesepakatan ini sudah berjalan, namun akan berakhir pada 19 November.
Ketidaksetujuan Rusia
Sementara itu, melansir Anadolu Agency (28/10), pihak Rusia hingga kini belum menyetujui perpanjangan perjanjian tersebut. Masalahnya, memang terkait dengan sanksi perbankan yang diterapkan pada Rusia.
Di lain pihak, Menteri Luar Negeri Rusia, Maria Zakhrova, mengungkapkan Rusia senang hati memasok pangan dan pupuk ke negara yang membutuhkan berdasarkan perjanjian. Namun, “rekening di bank tertentu diblokir, sehingga pembayaran tidak bisa dilakukan. Ini terjadi karena sanksi dari (negara) Barat. Jika kami dibayar, kami bisa mengirimkan produk, namun, ini tidak terjadi,” ujarnya.
Kepentingan banyak orang
Sementara itu, pihak Kyiv juga menyatakan bahwa perpanjangan Black Sea Initiatives berguna bagi kepentingan semua pihak, termasuk Rusia. Jadi, tidak ada alasan bagi Rusia untuk keluar dari perjanjian tersebut.
Wakil Menteri Ekonomi Ukraina, Taras Kachka, mengatakan bahwa Ukraina punya minat kuat untuk menerapkan kebebasan ekspor apapun dalam perdagangan yang luas dan tidak terbatas, namun hingga kini Rusia belum menunjukkan niat untuk memperpanjangnya.
“Kami juga mencoba untuk menggambarkan [ke] Rusia bahwa, bagi mereka, adalah bijaksana untuk berada dalam inisiatif ini, daripada mencari alasan untuk tidak berada di sana,” ucapnya seperti dikutip dari Politico (27/10)
Salah satu penyebabnya, adalah permintaan utama Rusia untuk membuka jalur gas amonia–bahan baku pupuk–dari Rusia Selatan menuju pelabuhan Pivdennyi di Laut Hitam. Ukraina menutup jalur tersebut karena khawatir adanya ledakan sangat besar, bila terkena tembakan dalam situasi perang.
Kemarahan besar
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, mengatakan, "Gagasan bahwa Rusia sekarang akan mengatakan tidak ingin melanjutkannya, ingin mematikannya, saya pikir, akan disambut dengan kemarahan besar oleh negara-negara di seluruh dunia yang mendapat manfaat darinya. Gandum Ukraina.”
Seperti dikutip dari AFP (28/10), perjanjian kedua Black Sea Initiatives, yang ditandatangani secara paralel pada bulan Juli, memungkinkan Rusia mengekspor makanan dan pupuk, meskipun ada sanksi Barat yang dikenakan pada Moskow atas invasi di Ukraina.
Namun, Rusia mengeluh bahwa bahkan dengan kesepakatan itu tidak dapat menjual produk-produk ini karena sanksi terhadap sektor keuangan dan logistiknya.