Epidemiolog: Pelonggaran Aturan Perjalanan Berisiko Tularkan Covid-19

Jakarta, FORTUNE – Pemerintah melonggarkan beberapa peraturan pembatasan Covid-19, bagi pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) maupun domestik. Namun, epidemiolog menilai pelonggaran tersebut cukup riskan dan terburu-buru diterapkan di saat jumlah kasus belum sepenuhnya menurun.
Beberapa kebijakan seperti pengurangan masa karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) atau penumpang Kereta Api Listrik (KRL) yang sudah diperbolehkan duduk tanpa jarak, maupun peniadaan tes atigen atau PCR bagi pelaku perjalanan bisa membahayakan.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan situasi setiap negara terkait mutasi virus berbeda, sehingga tidak bisa disamaratakan dalam membuat kebijakan penanganan Covid-19.
“Kalau di Eropa, masalah patuh terhadap peraturan sudah clear. Kalau kasus rendah, mereka akan membuka aktivitasnya. Tapi saat ditutup kembali, mereka akan mematuhi peraturan. Nah, tapi Indonesia agak berbeda,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Rabu (9/3).
Menurut Miko, masyarakat Indonesia masih banyak yang tidak patuh terhadap peraturan yang diterapkan pemerintah, bahkan seringkali mengakali regulasi Covid-19.
“Pemerintah jangan sampai membuat kebijakan yang keliru. Walaupun ada peluang mutasi virus akan lebih ringan, tapi kita harus tetap berhati-hati dengan penerapan pembatasan sosial,” katanya.
Pelonggaran aturan pemerintah sarat risiko
Miko mengatakan bahwa apa yang tengah dilakukan pemerintah Indonesia saat ini sebenarnya sangat berisiko. Tidak hanya pada penyebaran di dalam negeri, namun juga membuka peluang masuknya varian virus lain dari luar negeri.
“Kalau di Bali buka tanpa karantina, semua varian akan masuk kan ke Bali, mulai alpha, beta, gamma, atau delta. Apa yang terjadi? Ya kasihan masyarakat Bali, jadi ketularan semua varian. Itu berbahaya,” ujar Miko.