Jakarta, FORTUNE - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan potensi pemasukan negara dari pajak pertambahan nilai (PPN) atas perdagangan aset kripto mencapai lebih dari Rp1 triliun per tahun.
Kasubdit Peraturan PPN, Perdagangan, Jasa dan PTLL DJP Bonarsius Sipayung taksiran tersebut didasarkan pada realisasi total transaksi aset kripto di 2021 yang mencapai lebih dari Rp850 triliun. Dengan tarif PPN sebesar 0,2 persen, maka pemasukan yang dapat dikantongin negara bisa mencapai Rp1,7 triliun.
"Total transaksi cripto currency di Indonesia sekitar Rp850 triliun. Berarti dikali 0,2 persen sekitar Rp1 triliun," ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (6/4).
Meski demikian, angka tersebut masih sangat mungkin lebih besar tergantung dengan volume transaksi aset kripto tiap tahunnya.Pungutan PPN atas perdagangan aset kripto sendiri akan mulai 1 Mei 2022 mendatang.
Nantinya, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) yang memfasilitasi transaksi perdagangan Aset Kripto, exchanger atau Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang terdaftar di Bappebti akan memungut pajak tersebut dari pembeli.
Adapun pungutan yang dikenakan, saat tarif PPN umum masih sebesar 11 persen, adalah adalah 0,11 persen dari nilai transaksi kripto. Sedangkan para penjual aset kripto, exchanger, atau PFAK akan dikenai PPh 22 final dengan tarif 0,1 persen dari nilai transaksi.
Ada pula tarif berbeda, sebesar dua kali lipat atau 0,22 untuk PPN dan 0,2 untuk PPh, yang dikenakan kepada pedagang yang tak terdaftar di Bappbeti. "Memang harus dibedakan karena yang terdaftar Bappbeti kelihatan dan teradministrasi. Sementara yang enggak jelas itu silahkan, kami enggak melarang bagaimana orang berbisnis. Tapi sesuai aturan, kalau tidak mau masuk sistem komunitas berarti kamu kena tarif lebih tinggi," tuturnya.