Jakarta, FORTUNE - Energy Shift Institute (ESI) menyatakan bahwa Rencana Indonesia untuk mengalihkan ekspor batubara ke Pasar Asia Tenggara (ASEAN) seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam merupakan solusi sementara di tengah penurunan permintaan Tiongkok.
Dalam laporan terbarunya bertajuk Indonesia’s coal exports: courting Southeast Asia is a stop-gap measure, ESI menyatakan Indonesia akan berhadapan dengan Australia, Rusia dan Afrika Selatan yang juga mengincar Asia Tenggara sebagai pasar tujuan ekspor batu bara.
Oleh sebab itu, strategi subtitusi pasar ini dinilai hanya dapat menjaga arus pendapatan jangka pendek industri batu bara Indonesia, sedangkan pengalihan ekspor ke negara-negara tersebut dinilai belum mampu menutup penurunan volume impor batu bara Cina.
Hazel Ilango, Pemimpin Transisi Batu Bara ESI, mengatakan ekspor batu bara Indonesia ke Cina pada semester I-2025 turun 21 persen menjadi 84 juta ton. Namun, ekspor ke empat negara di kawasan pada periode yang sama hanya mencapai 55 juta ton. Sebagai perbandingan, penurunan impor batu bara Cina dari Indonesia sebesar 23 juta ton dari periode yang sama di tahun 2024 saja setara dengan 43 persen dari total ekspor Indonesia ke keempat negara ASEAN tersebut.
"Hal ini menunjukkan bahwa skala konsumsi batu bara dan sistem energi Tiongkok tidak tertandingi," ujarnya, Senin (1/12).
Dari sisi potensi tambahan permintaan batu bara untuk sektor ketenagalistrikan, gabungan Indonesia, Vietnam, Filipina, Thailand, dan Malaysia hanya mencapai kurang dari 25 gigawatt (GW). Sebaliknya, potensi peningkatan kebutuhan batu bara di China mencapai 484 GW.
Menurutnya, rendahnya daya serap batubara di kawasan ini dipengaruhi kebijakan diversifikasi energi menuju sumber bersih sejalan dengan komitmen iklim. Energi terbarukan dan gas kini menjadi pilihan pengganti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Vietnam bahkan telah menghentikan PLTU yang tidak efisien dan membatasi pembangunan proyek batubara baru.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu memikirkan strategi jangka panjang yang bisa diadaptasi untuk menekan dampak tren penurunan ekspor yang terus berlanjut. Sebab, meskipun permintaan batu bara di dalam negeri diperkirakan meningkat sekitar 14 juta ton atau 6 persen pada 2025, dunia usaha dan pengembang batu bara enggan memilih untuk mengalihkan ke pasar domestik terutama untuk pembangkit listrik karena dianggap kurang menarik dengan adanya kebijakan Domestik Market Obligation (DMO).
"Tanpa adanya strategi diversifikasi ekonomi yang lebih dalam, maka pendapatan dari penurunan ekspor ini berpotensi terus menyusut," ujarnya.
ESI pun menyarankan, keuntungan sementara dari pasar ASEAN dapat digunakan sebagai modal transisi ke kegiatan ekonomi yang lebih berkelanjutan, baik melalui pengembangan energi bersih, infrastruktur pendukung transisi, maupun diversifikasi industri di daerah penghasil batu bara.
"Tanpa adaptasi tersebut, keuntungan dari pasar ASEAN ini hanya akan menunda penurunan struktural, membuat industri dan pemerintah Indonesia rentan terhadap guncangan pendapatan dan menyusutnya pasar batubara global," pungkas Hazel.
