Jakarta, FORTUNE – Arus penolakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) semakin deras seiring langkah pemerintah mempercepat pembangunan PLTN pertama pada 2030 melalui Dewan Energi Nasional (DEN).
Guru Besar Universitas Kristen Indonesia (UKI) sekaligus pengamat energi, Prof. Atmonobudi Soebagio Ph.D, mengatakan bahwa PLTN tidak cocok untuk dikembangkan di Indonesia. “PLTN yang akan dibangun di Indonesia sangat rentan terhadap risiko gempa bumi, letusan gunung, banjir besar maupun gelombang tsunami yang sering kita alami,” katanya kepada Fortune Indonesia, Selasa (30/4).
Menurutnya, pembanguan PLTN akan berisiko merugikan penduduk Indonesia maupun negara-negara tetangga, terlebih jika terjadi kecelakaan sebagaimana dialami oleh PLTN Chernobyl, Ukraina.
Selain itu, pemilihan PLTN dinilai kurang tepat karena Indonesia masih memiliki banyak opsi lain untuk pengembangan energi baru terbarukan dan ramah lingkungan, seperti yang bisa didapat dari sinar matahari, gelombang laut, atau arus air. Oleh sebab itu, hal ini menurutnya harus jadi pertimbangan utama.
Meski belum dipastikan di mana PLTN pertama akan dibangun, namun Pulau Jawa menjadi pilihan, karena dihuni oleh mayoritas pelanggan listrik di Indonesia. "Padahal, Pulau Jawa memiliki tingkat risiko bencana alam, mulai dari bencana geologi, vulkanologi, hidrometeorologi, kekeringan, hingga kebakaran hutan,” katanya.
Kenginan keras pemerintah membangun PLTN yang berisiko tinggi juga merupakan hal yang janggal dan memalukan. Apalagi, bahan baku PLTN masih harus diimpor dan manajemen pengolahan limbah nuklir akan memakan biaya yang besar dan waktu yang relatif cukup lama.
