Ilustrasi Bauksit. (Wikimedia Commons)
Pemerintah menyatakan, salah satu keuntungan yang bisa dihasilkan dari hilirisasi bauksit iuntuk meningkatkan pendapatan negara dari Rp21 triliun menjadi sekitar Rp62 triliun. Hal ini bercermin pada kebijakan terdahulu, seperti komoditas nikel yang dinilai berhasil.
Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto menambahkan, hilirisasi bijih bauksit bisa menghemat devisa hingga US$2 miliar. “Sekarang jumlah daripada impor aluminium oleh Indonesia itu 2 miliar dolar AS tentu dengan adanya pabrik berproses di Indonesia 2 miliar dolar AS ini menjadi penghematan devisa," katanya.
Hal ini didukung oleh beberapa data yang menunjukkan adanya peningkatan tren ekspor bauksit Indonesia dari tahun ke tahun. Menurut data Bank Indonesia (BI), volume ekspor bauksit sebesar 1,7 juta ton pada 2017, melesat menjadi 8,6 juta ton pada 2018. Pada 2019 volume ekspor bauksit terus naik menjadi 15,5 juta ton dan pada 2020 mencapai 19,3 juta ton.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, produksi bauksit tercatat 1,2 juta ton pada 2017, lalu 5,6 juta ton pada 2018, 16,5 juta ton pada 2019 dan 25,8 juta ton pada 2020.
Sedangkan menurut Kementerian ESDM, cadangan bauksit Tanah Air mencapai 1,2 miliar ton atau sekitar 4 persen dari total cadangan global yakni 30,3 miliar ton, dan menjadi keenam yang terbesar dari seluruh negara dunia. “Ketahanan daripada bauksit kita antara 90 tahun sampai 100 tahun, masih cukup reserve yang ada," kata Airlangga.
Karena dianggap menguntungkan, Kementerian Keuangan bahkan akan memberikan insentif untuk mendorong pembangungan industri pengolahan bauksit dalam negeri, sama seperti yang sebelumnya diterapkan bagi komoditas nikel.
“Kalau dia (bauksit) termasuk industri prioritas nasional dan memang akan dikembangan, dia bisa masuk dalam kategori tax holiday dan tax allowance, itu sama seperti yang diterapkan di Morowali (pengolahan nikel),” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.