PLN Klaim Miliki Kredit Karbon 7,9 Juta Ton CO2e

Jakarta, FORTUNE - PT PLN (Persero) mengklaim kepemilikan kredit karbon sebesar 7,9 juta ton CO2e melalui sertifikat penurunan emisi dari pembangkit listrik yang dioperasikannya. Kredit karbon tersebut juga telah dilego ke pasar karbon nasional maupun internasional di mana PLN telah berpartisipasi sejak 2005.
Direktur Manajemen Sumber Daya Manusia PLN Yusuf Didi Setiarto mengatakan sertifikasi kredit karbon diraih PLN dengan mengadopsi Clean Development Mechanism (CDM) pada beberapa pembangkit energi terbarukan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong dan PLTP Kamojang.
CDM sendiri merupakan proyek penurunan emisi di negara berkembang yang pengaturannya berada di bawah Protokol Kyoto dan Joint Credit Mechanism (JCM).
"Selain CDM, PLN juga telah mengadopsi mekanisme Verified Carbon Standard (VCS) pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Musi, PLTA Renun, dan PLTA Sipansihaporas," kata Didi dalam keterangan resminya, dikutip Fortune Indonesia, Jumat (21/1).
Dengan rekam jejak tersebut, lanjut Didi, PLN siap memberikan kontribusi dan telah memantapkan langkah-langkah strategis terkait rencana implementasi regulasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) pada 1 April 2022. Terlebih, PLN telah berkomitmen untuk mencapai net zero emissions (NZE) pada 2060 yang sejalan dengan agenda nasional.
Sejauh ini, instrumen NEK yang berhasil diimplementasikan PLN ialah uji coba perdagangan karbon nasional di PLTU Tanjung Jati B dan 25 PLTU lainnya. Uji coba perdagangan karbon nasional itu dilakukan melalui dua skema, yaitu perdagangan kuota emisi (carbon trading) dan pengimbangan emisi (offset). Perdagangan emisi terjadi antara pembangkit yang melebihi emisi dengan pembangkit yang memiliki alokasi emisi yang tidak terpakai.
"Adapun pengimbangan emisi dilakukan oleh PLTU dengan membeli kredit karbon atau sertifikat penurunan emisi yang dihasilkan oleh suatu aksi mitigasi perubahan iklim," ucapnya.
Meski demikian, Didi mengakui masih ada beberapa tantangan dalam implementasi regulasi NEK yang saat ini dihadapi oleh PLN. Beberapa di antaranya terkait kapasitas sumber daya manusia yang masih perlu dikembangkan; sistem pengukuran, pelaporan dan verifikasi (Measurement, Reporting, Verification/MRV) yang belum beroperasi secara penuh; serta perencanaan implementasi nilai ekonomi karbon yang masih belum optimal.
"Oleh karena itu, ketentuan mengenai mekanisme implementasi cap, trade and tax dibutuhkan sebagai rujukan bagi PLN untuk melakukan perencanaan dan strategi yang matang sebagai persiapan implementasi NEK di Indonesia," jelas Didi.