Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Bank DBS
Bank DBS (dok. Bank DBS)

Intinya sih...

  • Perekonomian Indonesia diprediksi memasuki babak baru pada 2026.

  • Pergeseran signifikan dari sikap fiskal konservatif atau "ortodoksi fiskal" menuju belanja investasi yang dipimpin negara kemungkinan besar akan terjadi.

  • Pemerintah memperluas target defisit menjadi -2,68 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta. FORTUNE - Perekonomian Indonesia diprediksi memasuki babak baru pada 2026 dengan target pertumbuhan rata-rata 5,2 persen secara tahunan (YoY).

Jika menilik proyeksi DBS untuk tahun depan, keberhasilan menggapai angka tersebut akan sangat bergantung pada kemampuan otoritas mengalihkan kebijakan dari fase perancangan ke tahap pelaksanaan operasional nyata.

Fokus utama perubahan ini, menurut DBS, terletak pada kerangka kerja “Sumitronomics.” Dinamai berdasarkan begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, kerangka ini menekankan peran negara yang lebih besar dalam industrialisasi, manufaktur, dan penggunaan kebijakan fiskal guna memacu pertumbuhan.

Ekonom senior DBS, Radhika Rao, menilai 2026 akan ditandai oleh pergeseran signifikan dari sikap fiskal konservatif atau "ortodoksi fiskal" menuju belanja investasi yang dipimpin negara.

Pemerintah cenderung mengadopsi sikap proaktif dengan menjadikan APBN sebagai pendorong utama ekonomi sekaligus menarik keterlibatan sektor swasta.

“Prospek ke depan bergantung pada kemampuan ekonomi untuk beralih dari tahap perencanaan ke tahap implementasi operasional, memastikan bahwa reformasi strategis menghasilkan manfaat nyata dalam pertumbuhan, produktivitas, dan investasi,” ujarnya, dikutip dari DBS Focus Indonesia 2026 Outlook.

Untuk mengakomodasi agenda tersebut, pemerintah memperluas target defisit menjadi -2,68 persen dari produk domestik bruto (PDB), lebih tinggi dari sebelumnya yang dipatok -2,48 persen. Langkah ini diambil guna mendanai program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), peningkatan anggaran pertahanan dan alokasi dana daerah, penguatan kedaulatan pangan dan energi, serta perlindungan sosial bagi masyarakat berpendapatan rendah.

Hingga kuartal ketiga 2025, PDB riil Indonesia mencapai 5 persen, menurut outlook tersebut. Konsumsi rumah tangga diperkirakan membaik seiring meningkatnya alokasi program unggulan sebesar 15-20 persen (YoY).

Di sisi lain, ekspor barang menunjukkan performa kuat, naik 7 persen pada 10 bulan pertama 2025, yang berpotensi membawa neraca perdagangan membukukan surplus tertinggi dalam tiga tahun terakhir, yakni di atas US$41 miliar.

Dalam hemat Radhika, perbaikan iklim investasi kemungkinan bisa terjadi melalui kepastian regulasi dan penyederhanaan izin lintas provinsi. Langkah ini menentukan karena rasio investasi bruto terhadap PDB sempat menurun ke kisaran 30-31 persen setelah meraih puncaknya pada level 35 persen pada periode 2012-2018.

Bank Indonesia (BI) diperkirakan tetap mempertahankan sikap pro-pertumbuhan. DBS memproyeksikan adanya ruang penurunan suku bunga lanjutan hingga 75 bps hingga akhir 2026, menyusul penurunan 125 bps yang telah dilakukan sebelumnya.

Namun, pengawasan terhadap devisa hasil ekspor (DHE) akan diperketat. Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, mewajibkan penempatan DHE sumber daya alam selama satu tahun di bank milik negara mulai Januari 2026, dengan batas konversi ke rupiah maksimal 50 persen.

Meskipun fundamental domestik menguat, nilai tukar rupiah diprediksi tetap bergantung pada pemicu global. DBS menaksir kurs rupiah akan bergerak stabil terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada rentang 16.000-16.900.

Jika terjadi guncangan pertumbuhan global atau terjadi perburukan risiko perdagangan, rupiah bisa menembus 17.000 per dolar AS.

Editorial Team