Biaya jasa konsultan tersebut jadi sorotan dalam rapat Komisi VII. Anggota Komisi VII Fraksi PDIP, Adian Napitupulu, mempertanyakan besarnya dana tersebut di tengah ketidakjelasan proyek. Pasalnya, hingga saat ini belum ada investasi yang direalisasikan oleh dua partner tersebut.
Dengan CBL dan LG Energy Solution, IBC dan Antam telah melakukan penandatanganan framework agreement dengan perkiraan investasi mencapai US$15 miliar atau setara Rp215 triliun.
Antam yang juga merupakan pemegang saham IBC mendapat persetujuan pemegang saham untuk melakukan spin off dua anak usaha yang bergerak dalam industri baterai. Dua anak usaha tersebut tidak hanya bergerak di hulu, melainkan juga hingga di hilir bersama-sama dengan IBC.
Di middle stream, misalnya, mereka akan menggunakan teknologi RKAF ataupun HPAL untuk mengolah bahan baku nikel menjadi produk turunan seperti katoda dan prekursor. Dalam usaha patungan ini, 40 persen komposisi saham dimiliki Antam dan IBC, dan sisa 60 persen dimiliki CATL, CBL, maupun LG.
Semakin ke hilir, porsi kepemilikan saham perseroan pada akan semakin berkurang karena penguasaan teknologi dan pangsa pasar berada di pihak mitra.
Namun, Antam baru menandatangani conditional share purchase agreement (CSPA) dengan CBL pada 16 Januari lalu. Dus, proses pembentukan JV belum rampung karena masih menunggu persetujuan dari para pemegang saham. Dirut Antam, Nico Kanter, mengatakan target pembahasan terkait hal ini bisa rampung pada Oktober mendatang. Sementara dengan LG Energy Solution, pembicaraan terkait rencana investasi sempat terhambat dan baru akan dimulai kembali pada Mei mendatang.
Adian juga mempertanyakan penjelasan Toto yang tidak lugas soal biaya yang telah dikeluarkan IBC. Menurutnya, hal tersebut menjadi justifikasi bahwa anggaran yang dikeluarkan untuk proyek-proyek persiapan investasi industri baterai harus diaudit.
Di sisi lain, ia juga meminta kepastian bahwa investasi tersebut harus memanfaatkan bahan baku yang tersedia di Indonesia, dan bukan menambah beban untuk mengimpor.