Menurut EIU, peringkat kota dengan biaya hidup termahal itu, tentu terpengaruh oleh perubahan akibat pandemi COVID-19. Mereka mengatakan, masalah rantai pasok, pergeseran nilai tukar uang, dan perubahaan permintaan konsumen telah menyebabkan kenaikan harga (inflasi).
Saat ini tingkat inflasi di seluruh kota merupakan yang tercepat dalam lima tahun terakhir serta sudah melampaui era sebelum pandemi COVID-19. Pada 2021, tingkat inflasi (disesuaikan mata uang lokal) meningkat 3,5 persen, melebihi 2020 dan 2019 yang masing-masing hanya 1,9 persen dan 2,8 persen.
Secara mendetail, komoditas transportasi mengalami kenaikan harga terbesar dengan skor indeks rata-rata naik 3,8 poin. Contohnya, biaya rata-rata satu liter bensin (tanpa timbal) naik 21 persen meskipun harga angkutan umum tetap stabil. Harga juga meningkat kuat pada kategori rekreasi, tembakau, dan perawatan pribadi.
Tel Aviv, misalnya, menjadi kota termahal terutama karena mata uangnya, yakni Shekel, yang terapresiasi terhadap dolar AS. Pada saat sama, harga transportasi dan bahanan makanan di kota itu melonjak. Begitu juga dengan harga properti terutama di kawasan permukiman.
“Meskipun sebagian besar ekonomi di seluruh dunia sekarang pulih ketika vaksin COVID-19 diluncurkan, banyak kota besar masih mengalami lonjakan kasus, yang mengarah pada pembatasan sosial. Ini telah mengganggu pasokan barang, yang menyebabkan kekurangan dan harga yang lebih tinggi,” kata Upasana Dutt, Head of Worldwide Cost of Living di EIU, dalam keterangan resmi seperti dikutip Kamis (2/12).
Pada tahun-tahun mendatang, EIU melihat biaya hidup akan meningkat lebih jauh di banyak kota seiring kenaikan upah di berbagai sektor. Namun, bank-bank sentral negara dunia, menurutnya, diharapkan dapat menaikkan suku bunga dengan hati-hati demi membendung inflasi. “Jadi kenaikan harga harus mulai moderat dari level tahun ini,” katanya.