Jakarta, FORTUNE - Pemerintah dan PLN akhirnya menyepakati Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Kebijakan itu disahkan dalam Keputusan Menteri ESDM nomor 188/K/HK.02/MEM.L/2021.
Direktur Utama PT PLN (Persero), Zulkifli Zaini, mengatakan proses penyusunan RUPTL yang dimulai sejak 18 Agustus 2020 baru rampung dibahas pada 27 September 2021 setelah mengalami empat kali revisi.
Lamanya proses pembahasan disebabkan ketidakpastian permintaan akibat pandemi Covid-19. Hal tersebut membuat realisasi pertumbuhan listrik tahun lalu terkontraksi 0,79 persen.
Lantaran itu pula, hingga 2030 RUPTL baru ini memproyeksikan pertumbuhan listrik rata-rata sebesar 4,9 persen per tahun, lebih rendah daripada RUPTL 2019-2028 dengan rata- rata 6,4 persen per tahun.
Di sisi lain, sejalan dengan upaya mencapai bauran energi baru terbarukan 23 persen pada 2025 serta peralihan menuju zero carbon pada 2060, RUPTL 2021-2030 juga diarahkan pada peningkatan porsi EBT menjadi 51 persen dalam sistem ketenagalistrikan nasional.
"RUPTL ini adalah RUPTL paling green," ujar Zulkifli dalam konferensi pers virtual tentang Diseminasi RUPTL 2021-2030, Selasa (5/10), sembari menyebut istilah 'green' yang diasosiasikan dengan ramah lingkungan.
PLN memiliki beberapa inisiatif, dan beberapa yang tercakup dalam RUPTL tersebut adalah peningkatan keberhasilan COD PLTP (geothermal) dan PLTA yang berkontribusi besar terhadap bauran EBT, program Dediselisasi PLTD menjadi PLTS sebesar 1,2 GWp dengan baterai, pembangunan PLTS 4,7 GW dan PLTB 0,6 GW, serta implementasi co-firing biomassa pada PLTU.
Program selanjutnya setelah 2025 adalah penggantian pembangkit beban dasar yang sebelumnya dirancang menggunakan PLTU batu bara dengan PLT EBT Base 1 GW serta memensiunkan 1,1 GW PLTU Subcritical di Muarakarang, Priok, Tambaklorok dan Gresik pada 2030.
"Pengembangan pembangkit EBT juga harus memperhitungkan keseimbangan antara supply dan demand, kesiapan sistem, keekonomian, serta harus diikuti dengan kemampuan domestik untuk memproduksi industri EBT sehingga Indonesia tidak hanya menjadi importir EBT," ujarnya.