Jakarta, FORTUNE - Rusia terancam terkena sanksi ekonomi usai Presiden Vladimir Putin mendeklarasikan perang dengan Ukraina dan melakukan serangkaian serangan pada Rabu (23/2). Terlebih, tak lama setelah operasi militer Rusia dilancarkan, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden merilis pernyataan dengan menyebut agresi itu sebagai serangan tak beralasan dan tak dapat dibenarkan.
Biden juga mengatakan bahwa dia akan mengumumkan "konsekuensi lebih lanjut" untuk Rusia malam ini. Sebelumnya, AS telah menetapkan sebagian sanksi “tahap pertama” yang kemudian ditindaklanjuti dengan langkah-langkah tambahan pada hari berikutnya, termasuk sanksi terhadap Nord Stream 2 AG, perusahaan yang membangun US$11 miliar pipa gas alam yang menghubungkan Rusia dan Jerman.
Para pembantu Biden mengatakan Rusia akan menghadapi hukuman yang lebih berat. Tapi di balik layar, ada skeptisisme bahwa "gertakan" tersebut dapat bekerja.
Sejak lima bulan sebelumnya, para pejabat di AS telah menghabiskan ratusan jam untuk berdebat, menyusun, dan menggembar-gemborkan ancaman sanksi ekonomi untuk menakut-nakuti Putin agar tidak menyerang Ukraina.
Mengutip Fortune, strategi tersebut terpaksa diambil lantaran pada tahun lalu Biden menegaskan bahwa AS tidak akan mengirim pasukan atau senjata berat ke Ukraina. Kini, beban pembuktian bahwa ancaman perang ekonomi akan cukup untuk melawan musuh sebesar Rusia ada di pundak kabinetnya.
Strategi ancaman ekonomi tak lepas dari kekhawatiran para pemimpin AS atas terulangnya bencana militer di Irak dan Afghanistan—di mana AS turut mengerahkan militer ke kawasan tersebut.
Kendati demikian, semakin banyak bukti bahwa strategi hati-hati Paman Sam tersebut sering gagal mencapai tujuan mereka. Dalam beberapa kasus, pengalaman menunjukkan bahwa sanksi hanya membudayakan perilaku yang tidak diinginkan dari pihak yang menjadi sasarannya.
Keterbatasan itu diperparah oleh prospek bahwa sanksi terberat terhadap Rusia—yang mungkin bisa benar-benar mengubah perilaku Putin—juga akan membahayakan AS dan ekonomi global, yang sudah dilanda lonjakan harga minyak dan komoditas lainnya.
“Sanksi (ekonomi) telah menjadi alat yang lelah,” kata Stephen Biegun, mantan wakil menteri luar negeri di bawah Donald Trump dan veteran pemerintahan Partai Republik yang turut membantu merumuskan kebijakan AS terhadap Korea Utara.
Ia mengakui bahwa pemerintahan Biden tidak memiliki pilihan yang baik untuk melawan Putin, tetapi menurutnya penggunaan sanksi “tidak secara signifikan mengubah perilaku pihak asing mana pun yang tindakannya menjadi perhatian Amerika Serikat.”