ilustrasi percaya diri (unsplash.com/Edward Cisneros)
Pada 1908, sekitar 15.000 perempuan memadati jalanan Kota New York untuk mendesak pemerintah AS agar ditetapkan jam kerja yang singkat, upah yang layak, dan hak untuk memilih dalam pemilihan umum. Namun, ide penetapan Hari Perempuan Internasional diutarakan oleh Clara Zetkin, yang merupakan pemimpin dari Partai Demokratik Sosial di Jerman.
Lalu, pada 1909 inagurasi Hari Perempuan Internasional pertama kali dideklarasikan di Amerika Serikat (AS). Setahun kemudian, perayaan serupa digelar di Copenhagen, Denmark. Selanjutnya pada 19 Maret 1999, sejumlah negara di Eropa mulai dari Austria, Denmark, Jerman hingga Swiss serentak merayakan Hari Perempuan Internasional. Para perempuan di Rusia juga melakukan perayaan yang serupa pada 23 Februari selama tahun 1913 hingga 1914.
Di era Perang Dunia II, tepatnya pada 8 Maret, masyarakat di seluruh dunia menggunakan tanggal tersebut sebagai momentum advokasi keserataan gender. Dari sinilah tanggal 8 Maret kemudian ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Hari Perempuan Internasional, yang kala itu adalah tahun 1975.
Menariknya, sebagian negara di dunia menganggap Hari Perempuan Internasional adalah hari perayaan. Negara-negara tersebut antara lain, Afghanistan, Kuba, Vietnam, Uganda, Mongolia, Georgia, Laos, Kamboja, Armenia, Belarusia, Montenegro, Rusia, dan Ukraina. Mereka mengeluarkan kebijakan, setiap tanggal 8 Maret sebagai hari libur resmi.
Setiap tahun PBB membuat tema untuk Hari Perempuan Internasional. Tema pertama yang diusung dalam peringatan Hari Perempuan Internasional pada tahun 1996 adalah “Merayakan Masa Lalu, Merencanakan Masa Depan”. Sedangkan, pada tahun ini, PBB mengusung tema #EmbraceEquity.