Menanggapi hal itu, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo memastikan putusan MK atas UU 11/2020 Cipta Kerja akan mengubah materi beleid tersebut. Dia mengatakan, putusan MK tersebut menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusi bersyarat.
Permasalahan yang menjadi dasar putusan tersebut berkaitan dengan tidak sesuainya pembuatan UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai amanat dari UUD 1945.
"Di mana dalam UU 12/2011 tidak ada norma tidak ada frasa yang mengatur tentang omnibus law," ujar Firman saat konferensi pers, Jumat (26/11).
Oleh karena itu, DPR akan melakukan revisi UU 12/2011 tersebut untuk menyelamatkan UU Cipta Kerja. Revisi UU itu akan masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) yang akan disusun Desember 2021 ini.
DPR pun telah menyiapkan naskah akademis untuk memasukkan frasa omnibus law dalam UU 12/2011. Firman optimistis revisi UU tersebut akan selesai dalam waktu singkat.
"Ini akan kami dorong dan kami persiapkan sehingga pada awal tahun setidak-tidaknya bulan satu atau dua, paling lambat bulan tiga ini semua sudah sesuai dengan yang ditetapkan MK," kata Firman.
Sementara untuk isi materi dari UU Cipta Kerja, kata Firman, tidak mengalami perubahan. Meski begitu, hal itu akan diserahkan kepada pemerintah selaku pengusul UU Cipta Kerja.
Sebagai informasi, usai UU Cipta Kerja disahkan pada 2020, beleid tersebut mendapatkan penolakan dari sejumlah pihak seperti mahasiswa, buruh, aktivis lingkungan, dan lainnya. Pembuatan UU yang tidak melibatkan masyarakat dan berlangsung cepat menjadi dasar penolakan UU tersebut.
Berikut ini beberapa poin penting terkait putusan MK untuk merevisi UU Cipta Kerja.