Dilansir Reuters, sebelumnya shutdown pemerintahan berkepanjangan pernah terjadi di era Presiden Jimmy Carter pada kuartal keempat 1977 dengan total 31 hari dalam tiga bulan. Kala itu, pertumbuhan ekonomi sempat mandek akibat terbatasnya pengeluaran pemerintah. Namun, aktivitas kembali pulih pada kuartal berikutnya, dan konsumsi rumah tangga tetap bertahan bahkan tumbuh rata-rata 0,5 persen.
Pola serupa terlihat pada shutdown terpanjang sepanjang sejarah, yakni 35 hari pada akhir 2018 hingga awal 2019 di bawah Presiden Donald Trump. Konsumsi kala itu memang turun tipis rata-rata 0,3 persen, tetapi para ekonom menilai perlambatan lebih dipengaruhi faktor eksternal, seperti memudarnya efek pemotongan pajak serta perang dagang dengan Cina.
Secara historis, shutdown pemerintahan jarang benar-benar mengguncang perekonomian Amerika Serikat. Sepanjang sejarah, hanya dua kali penutupan pemerintahan berbarengan dengan kontraksi aktivitas ekonomi, yaitu shutdown dua hari pada November 1981 di era Presiden Ronald Reagan dan penutupan tiga hari pada Oktober 1990 di masa Presiden George H.W. Bush. Namun, dalam kedua kasus itu, ekonomi AS sudah lebih dulu terjerumus resesi sebelum shutdown berlangsung.
Dampak shutdown terhadap pasar tenaga kerja juga cenderung minim. Pada periode penutupan pemerintahan di era Trump, sempat terjadi lonjakan klaim tunjangan pengangguran jangka pendek dari pegawai federal yang dirumahkan, tetapi tidak merembet ke sektor lain. Data Departemen Tenaga Kerja mencatat hampir tidak ada perubahan berarti pada klaim baru maupun tingkat pengangguran nasional.
“Shutdown pemerintah memang merepotkan dan berantakan, tetapi sedikit sekali bukti yang menunjukkan dampak signifikan pada ekonomi,” ujar Scott Helfstein, Kepala Strategi Investasi di Global X. “Biasanya, aktivitas ekonomi yang hilang, akan pulih pada kuartal berikutnya.
Selain menekan roda ekonomi, shutdown juga berisiko menurunkan kepercayaan konsumen. Berdasarkan analisis Committee for a Responsible Federal Budget terhadap survei University of Michigan, sentimen konsumen turun lebih dari 7 poin saat shutdown 2018. Pola serupa juga tercatat dalam tiga shutdown sebelumnya. “Sentimen konsumen biasanya menjadi indikator besar bagi konsumsi, dan konsumsi menyumbang sekitar 70 persen dari perekonomian AS,” papar Gerald Epstein, profesor ekonomi dari University of Massachusetts, Amherst, mengutip ABCNews.
Namun, jika krisis ini cepat berakhir hanya dalam hitungan hari, para ekonom menilai dampaknya akan tetap minim. Menariknya, pasar saham justru cukup tangguh menghadapi periode shutdown. Indeks S&P 500 bahkan sempat naik dalam empat shutdown terakhir, termasuk di 2018 ketika melonjak lebih dari 10 persen, kata Brian Gardner, Chief Washington Strategist di Stifel.
Di sisi lain, kebijakan moneter The Fed juga bisa terganggu. Departemen Tenaga Kerja AS menyatakan sebagian data ekonomi tidak akan dipublikasikan bila shutdown terjadi, termasuk laporan ketenagakerjaan bulanan yang dijadwalkan rilis Jumat ini.
Padahal, The Fed baru saja memangkas suku bunga bulan ini dan tengah berupaya menjaga keseimbangan antara menahan inflasi dan menopang pasar tenaga kerja. Powell menekankan bahwa perlambatan perekrutan pada musim panas lalu telah menggeser risiko utama dari inflasi ke sektor pekerjaan. Meski begitu, ia tetap mengingatkan bahwa ketidakpastian inflasi masih tinggi.
Jika akses data pemerintah terhenti, bank sentral terpaksa mengandalkan data dari sektor swasta. Kondisi ini, menurut Goldwin, membuat langkah The Fed lebih berisiko. “Mereka seperti berjalan di tali, mencoba memutuskan apakah harus menurunkan suku bunga atau tidak. Ketika visi sedikit kabur di sudut mata, itu sangat berbahaya,” katanya.