Jakarta, FORTUNE – Sri Lanka didera krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaannya pada 1948. Negara ini mengalami kebangkrutan karena runtuhnya perekonomian akibat krisis dari dalam dan luar negeri, terutama cadangan devisa yang terus menipis hingga kegagalannya membayar utang luar negeri.
Melansir laman Bloomberg, Kamis (23/6), Perdana Menteri Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe, mengatakan bahwa situasi negaranya jauh lebih serius daripada sekadar krisis energi, atau pangan.
“Kami tak mampu beli bahan bakar impor, bahkan dengan uang tunai, akibat beratnya utang yang ditanggung oleh perusahaan minyak dan kami mulai melihat tanda-tanda kemungkinan jatuh ke titik terendah,” ujarnya.
Pada Maret 2022, cadangan devisa negara tersebut tercatat US$1,72 miliar, terendah sejak November 2021 dan terus turun selama tiga bulan terakhir.
Ketergantungan impor berbagai kebutuhan seperti pupuk dan bahan bakar minyak, jadi salah satu faktor penyebab kebangkrutan Sri Lanka. Kenaikan harga komoditas global turut menambah beban utang negara tersebut, hingga membuat nilai mata uangnya terus jatuh. Situasi ini pun memperparah kondisi cadangan devisa yang makin tergerus.