Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan pentingnya menjaga ketahanan surplus neraca pembayaran untuk memastikan stabilitas imbal hasil surat berharga negara maupun nilai tukar rupiah.
Pasalnya, di tengah kondisi perekonomian dunia yang masih penuh dengan ketidakpastian, Indonesia berisiko mengalami kenaikan yield surat utang dan depresiasi rupiah.
"Kita lihat waktu Indonesia posisi APBN dan neraca pembayarannya baik, maka nilai tukar rupiah juga akan relatif stabil," ujarnya dalam rapat bersama Komisi XI, Rabu (5/6).
Dia mengingatkan tentang kondisi ketika bank sentral Amerika Serikat memperketat kebijakan moneter pada 2013—dikenal dengan taper tantrum—yang membuat perekonomian Indonesia bergejolak karena ketahanannya lemah.
Pada kurun 2012 hingga 2014, saat kondisi defisit neraca pembayaran dan neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) berada di atas tiga persen, Indonesia sempat dijuluki The Fragile Five bersama India, Turki, Afrika Selatan, dan Brasil.
Kala itu, imbal hasil surat berharga negara Indonesia tiba-tiba melesat naik dan rupiah terdepresiasi sangat dalam menyusul pengumuman Fed untuk memperketat likuiditas. Pada 2013, nilai tukar rupiah anjlok 24,3 persen dari Rp9.793 ke Rp12.171 per US$.
"Bahkan 2013 itu Federal Reserves belum menaikan suku bunga, baru ancang-ancang mengatakan kita akan mulai normalisasi," katanya.
Kondisi demikian menimbulkan perception risk maupun real risk, yang turut membuat yield surat berharga negara melonjak dari 5,8 persen menjadi 6,8 persen pada 2013, dan kembali naik menjadi 8,1 persen pada 2014.