Jakarta, FORTUNE - Direktur Perencanaan Korporat PT PLN (Persero) Evy Haryadi mengatakan pembangunan listrik energi baru terbarukan (EBT) akan menambah biaya pokok penyediaan pembangkitan (BPP) listrik dan mengerek tarif tagihan ke pelanggan.
Diperkirakan, pelanggan akan menanggung beban biaya tambahan sebesar 3,3 sen untuk tiap kWh listrik yang digunakan. Karena itu, dibutuhkan kompensasi kepada PLN jika pemerintah ingin menahan tarif adjustment (penyesuaian) dan menjaga daya beli masyarakat.
"Yang terkait dengan kegiatan penugasan adalah kegiatan yang secara kelayakan ekonomi sebenarnya tidak ekonomis namun karena adanya kepentingan misalnya infrastruktur yang harus dibangun maka hal ini harus mendapatkan supporting dari subsidi dan kompensasi," ujarnya dalam diskusi virtual, Kamis (9/6).
Menurut Evy, Indonesia sebenarnya mengalami surplus pasokan listrik dan tak memerlukan pembangkit tambahan hingga saat ini. Namun, tiap negara memiliki target masing-masing untuk memangkas emisi termasuk di sektor ketenagalistrikan. Sehingga, kebutuhan untuk membangun pembangkit EBT muncul dalam rangka transisi energi.
"Bagaimana itu dicapai ini adalah satu kalkulasi yang tidak sederhana karena adanya trade off yang harus kita lakukan bagaimana ini tidak menambah berat financial sustainability dari PLN," jelasnya.
Untuk mencapai target transisi energi di sektor ketenagalistrikan, PLN juga telah menyiapkan energy transition mechanism yang melingkupi dua skema yakni retirement coal atau mempensiunkan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dan membangun pembangkit berbasis EBT yang baru.
"Terkait dengan retirement PLTU, yang kita pensiunkan secara otomatis, dengan adanya pensiun ini memungkinkan ruang yang lebih luas supaya tidak terjadi oversupply lebih tinggi," tuturnya.