Jakarta, FORTUNE - Bank Sentral Amerika Serikat (Fed) masih dalam jalur menaikkan suku bunga acuannya, dan kali ini sebesar 50 basis poin (bps). Kebijakan yang bergulir pada Rabu (14/12) waktu setempat ini tergolong rendah setelah peningkatan 75 bps dalam empat bulan berturut-turut.
Mengutip Fortune.com, keputusan Fed tersebut diambil usai pemerintah AS memberi sinyal bahwa tanda-tanda inflasi mulai mereda dari level tertingginya. Indikatornya penurunan harga gas, biaya mobil bekas, furnitur dan mainan, serta biaya layanan dari hotel hingga tiket pesawat hingga persewaan mobil.
Enam kenaikan suku bunga Fed tahun ini telah membuat suku bunga jangka pendek utamanya melaju ke kisaran 3,75–4 persen yang merupakan level tertinggi dalam 15 tahun.
Secara kumulatif, kenaikan tersebut telah menjadikan suku bunga pinjaman menjadi lebih mahal bagi konsumen serta perusahaan pada sisi hipotek hingga pinjaman mobil dan bisnis. Berkaca pada kondisi tersebut, ada kekhawatiran Fed bakal tetap menaikkan suku bunga dengan agresif dalam jangka panjang yang dapat berujung resesi pada 2023.
Dengan tekanan inflasi yang sekarang mereda, sebagian besar ekonom berpikir Fed akan lebih memperlambat kenaikannya dan menaikkan suku bunga utamanya hanya seperempat poin pada pertemuan berikutnya awal tahun depan.
"Data (Selasa) sesuai dengan gagasan kami bahwa Fed akan turun lebih lanjut pada bulan Februari," kata Matthew Luzzetti, ekonom di Deutsche Bank dan mantan analis riset di Fed. "Downshifting membantu memaksimalkan prospek soft landingnya"—kenaikan suku bunga Fed akan memperlambat pertumbuhan dan menjinakkan inflasi, tetapi tidak memantik resesi.