Tujuan Pameran Kopi Indonesia di Luar Negeri Harus Matang

Jakarta, FORTUNE – Promosi kopi Indonesia melalui berbagai pameran, festival, maupun program cupping di berbagai negara adalah salah satu upaya meningkatkan ekspor kopi lokal. Namun, terdapat beberapa hal yang membuatnya menjadi tidak efektif.
Wakil Ketua Umum Bidang Spesialti dan Industri Kopi dari Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Pranoto Soenarto, mengatakan penyelenggaraan promosi kadang mengalami tumpang tindih tanggung jawab, misalnya di pihak kementerian dan lembaga.
“Kalau gitu (mengadakan pameran dan festival kopi) fokusnya siapa yang harus pergi? Seharunya perdagangan, karena mengurus sentranya para pedagang. Jadi, mereka itu (Kementerian Perdagangan) yang ngejar nilainya, kan?” ujar Pranoto kepada Fortune Indonesia (8/12).
Selain itu, kata Pranoto, tujuan promosi masih belum matang. “Jangan sampai kopi ini nantinya seperti cokelat. Orang semua dari luar negeri disuruh buka pabrik cokelat di sini, bahan baku cokelatnya enggak ada. Giliran impor pun malah jadi diributkan, kan ini dianggap melawan UU Cipta Kerja,” katanya.
Indonesia punya kopi robusta sangat berkualitas
Menanggapi berbagai acara yang diadakan pemerintah Indonesia untuk mempromosikan kopi Indonesia di sejumlah negara seperti Rusia dan Australia, Pranoto mengatakan kopi Indonesia sebenarnya berkualitas sangat baik. Robusta, contohnya. Kopi jenis itu sudah cocok dipromosikan ke Australia karena permintaannya yang besar.
“Sekarang Indonesia punya banyak robusta bagus,” kata Pranoto. “Di Australia, kalau tidak ada robusta, tidak dapat membuat espresso yang enak, sekalipun di sana banyak turunan Italia. Jadi, mereka (Australia) itu mengejar robusta kita, yang washed process itu.”
Menurut Pranoto, walau Brasil atau Vietnam masih lebih unggul ketimbang Indonesia dalam hal ekspor kopi, namun kualitas robusta Indonesia masih jauh lebih berkualitas. “Grade 4 kopi Indonesia itu ekuivalen sama grade 1-nya Vietnam, dari segi harga. Grade 4 robusta Indonesia bahkan jadi standar buat pabrik-pabrik kopi, internasional maupun lokal,” ujarnya.
Pranoto mengakui bahwa produktivitas Indonesia—selain harga—memang masih berada di bawah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Sejauh ini, rata-rata produksi yang mampu dicapai oleh para petani perkebunan kopi robusta di Indonesia 600-800 kg/hektare. “Di Vietnam itu, rata-rata 2-3 ton/hektare. Kalau Brasil itu sekitar 8 ton/hektare, bahkan untuk daerah tertentu mencapai 11 ton/hektare. Inilah kuantitas yang belum bisa dikalahkan Indonesia,” ujarnya.