Jakarta, FORTUNE - Industri keuangan syariah global tengah menunjukkan tren pertumbuhan yang impresif. Sepanjang 2024, total nilai asetnya mengalami lonjakan hampir 15 persen, menembus angka US$3.880 miliar. Namun, laporan IFSI Stability Report 2025 yang dirilis Islamic Financial Services Board (IFSB) pada Mei 2025 mencatat ekspansi ini belum seimbang.
Sebagian besar pertumbuhan masih terkonsentrasi di sektor perbankan, sementara instrumen lain seperti sukuk dan asuransi syariah belum berkembang optimal—terutama di pasar negara berkembang seperti Indonesia. “Total aset perbankan syariah menyumbang 71,6 persen dari IFSI, jauh di atas sukuk 23,3 persen dan asuransi syariah 1,4 persen,” tulis laporan tersebut.
Fenomena ketimpangan ini tercermin nyata di Indonesia. Bank-bank syariah memang menunjukkan pertumbuhan yang stabil, tapi pengembangan sektor pasar modal syariah dan asuransi masih tertinggal. Padahal, menurut laporan tersebut, secara global sektor sukuk tumbuh 25,6 persen dan asuransi syariah meningkat 16,9 persen selama 2024—mengindikasikan potensi yang belum dimanfaatkan secara maksimal.
IFSB juga menyoroti hambatan struktural yang memperlambat kemajuan instrumen keuangan non-bank. “Keterbatasan instrumen investasi dan likuiditas syariah melemahkan fungsi sukuk sebagai alat stabilitas sistem keuangan dan pengelolaan likuiditas,” tulis lembaga tersebut.
Tantangan lain datang dari struktur pendanaan bank syariah yang masih bergantung besar pada dana simpanan jangka pendek. Akses ke pembiayaan jangka panjang melalui pasar modal belum optimal, yang menyebabkan bank sulit meningkatkan fleksibilitas dan daya tahan terhadap tekanan ekonomi.
Skema pembiayaan yang digunakan pun banyak yang mengandalkan commodity murabahah (CM), yang dinilai makin menyerupai sistem utang konvensional. “Total simpanan berbasis CM mencapai US$512 miliar per kuartal II 2024, tumbuh 41 persen per tahun sejak 2022,” catat IFSB.
Pakar ekonomi syariah, Ronald Rulindo, menilai bahwa Indonesia sebenarnya sudah memiliki kerangka hukum dan kelembagaan yang cukup, tetapi implementasi konkretnya masih minim. “Kalau untuk Islamic finance, belum ada gebrakan baru yang terlihat walaupun sudah ada UU P2SK yang memberikan beberapa fleksibilitas,” ujarnya, melansir Republika (8/7).
Ronald juga menyoroti absennya isu keuangan syariah dalam kerja sama internasional. “Dari kunjungan Presiden ke Saudi, banyak kesepakatan yang tercapai. Tapi topik keuangan syariah dan industri halal tidak terlihat dalam poin-poin yang diliput media,” Katanya.
Kepala CSED INDEF, Nur Hidayah, melihat dari perspektif demografis bahwa generasi Muslim muda kini semakin memilih layanan keuangan yang digital, berkelanjutan, dan bernilai. “Perpaduan antara gaya hidup digital Muslim dan layanan keuangan syariah yang inovatif akan jadi tren besar ke depan,” ujarnya.
Guna memperkuat infrastruktur keuangan syariah yang lebih merata, IFSB merekomendasikan agar negara-negara seperti Indonesia aktif menerbitkan sukuk dalam denominasi rupiah, memperluas variasi tenor, serta membentuk kurva imbal hasil yang bisa dijadikan acuan. Di sisi lain, penyederhanaan struktur sukuk dan penguatan infrastruktur perdagangan menjadi langkah penting untuk menciptakan pasar yang lebih likuid dan efisien.