Selain zat, proses penanganan juga sangat memiliki pengaruh. Meski berasal dari sumber halal, jika penanganan tidak sesuai standar halal maka tidak bisa memperoleh sertifikasi halal.
"Bio Farma sendiri merekomendasikan farmasi halal harus didesain dari awal penelitian, harus free animal origin, atau halal by design," katanya.
Oleh karena itu, perlu kolaborasi dengan akademisi, industri, regulator, ulama, hingga komunitas untuk menyukseskan formulasi produk farmasi halal. Di tingkat global sendiri, sejumlah negara Organisasi Kerja sama Islam membuat harmonisasi standarisasi farmasi halal.
Pertumbuhan sertifikasi halal bagi industri farmasi terbilang sangat tertinggal. Per Maret 2021, jumlah kelompok farmasi (obat dan vaksin) bersertifikat halal sebanyak 2.586 produk. Angka ini sangat rendah, yakni 0,5 persen dari keseluruhan produk bersertifikat halal yang berjumlah 575.560 produk dari seluruh kelompok.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Muti Arintawati, dalam webinar “Obat Halal, Darurat Sampai Kapan?”, dikutip Kamis, (7/7).
Jumlah sertifikasi halal obat meningkat signifikan pada 2019, seiring dengan mulai diimplementasikannya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
Kemudian pada 2020 terjadi penurunan seiring dengan keluarnya regulasi turunan UU JPH, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Dari 1.891 produk obat pada 2019, menjadi 830 produk obat pada 2020.
Pasal 141 ayat 1 pada PP tersebut menyebutkan adanya penahapan kewajiban bersertifikat halal bagi obat, dengan kurun waktu terlama sampai tahun 2034 untuk produk obat keras. Masa transisi yang cukup panjang diduga menjadi pemicu turunnya angka sertifikasi halal produk obat pada 2020.